Friday 21 August 2015

UNAPOLOGETICALLY 1

A Memoir For My Self

It has been sometimes since I breathe the air of this world through my own respiratory system. The first 9 months of my existence is through my mother's womb. A woman who carry me, with struggles and thoughts of how to support 2 children while her husband monthly pay check barely enough for 3 now, I can see it in my mind, the need to feed a toddler of almost 2 years, while at the same time carring for a newborn baby with a husband struggling to support the family... That early 80s soon everything will change....

UNAPOLOGETICALLY 2

Monday 25 May 2015

Lady Gaga (a thought)

A Critic for Christianity Symbols
A friend of mine asking me to do translation for "Judas" sing by Lady Gaga. At first, i was thinking that its just another "crazy" (or is it brilliant) work of Lady Gaga, that presented a certain generation criticism to (post) modernity to have the freedom to express themselves freely, and also the living of wild creativity with vivid colour using and "creative fashion style" media usage. Who is Lady Gaga? Perhaps most of the people knows who is she, and her background, but for those who doesn't know Lady Gaga, i will try to brief her details in here.
According to her official website; Lady Gaga's real name is Stefani Joanne Angelina Germanotta born in New York on March 28th, 1986 from an Italian American family and therefore she was raised in Roman Catholic tradition (or at least familiar with the tradition). She studied at New York University at the faculty of Tisch School of the Arts. Her career in music is not instant, she also admitted that she was once consuming drugs to help her perform in "barely a clothes" costume, that made her father did not want to look at her. She said that she went to a Catholic school but it was on the New York underground that she found herself. She released her debut album in 2008 with her famous single "Just Dance, "Poker Face, "Bad Romance" and earned 6 Grammy Nominees, after several years of struggle. (source from wikipedia.com)
This is just an amateur writing of a woman who is interested to her song "Judas". Many might consider her song is evil and also might condemn her as the devil's own, or perhaps the satan seed. Some just plainly ignored and just think of her as crazy, while others probably consider her as very representative to their view of religion, symbols of religion, rebellious, extreme creativity, pop culture and trulan artist, and a trace of feminism inside her music video of "Judas."
My expectancy, at first, was a bit historical modernized scene, but i have never expected that she would interpret Jesus and his apostles as motor bike gang, especially with big bike, skulls embroidered leather jacket and rugged hard look with 2 days stubble and dirty look. What took my interest more is that she is in the video, if i may freely interpret, she represent the enigmatic presence of Maria, the woman who wash Jesus' feet in the Gospel of John, Lady Gaga herself is a kind of enigmatic i think, because her life perhaps some would think very worldly, yet she still think of theological challenge in her mind.
Lady Gaga's song lyric and music video called "Judas" is filled with Christianity symbols, her interpretation of the Gospel of John, her rebellious action toward Roman Catholic tradition she was raised in, and her critics to religion institution about freedom and feminism. For some this might be consider as offensive and perhaps even an abomination to the Holy Icon. Yet, the writer tends to see it as a constructive critics to Christianity.

Pop, Sex and Theology (Journey Begins)

Teologi dan Budaya Populer
Seksualitas Media dalam Serial Sex and the City


I.                  Sekilas Sex and the City
Sekitar tahun 2000, sebuah saluran tv kabel Amerika Serikat, yang terkenal sering menayangkan dan memroduksi film-film serial maupun lepas yang fenomenal, yaitu HBO (Home Box Office), yang diangkat dari sebuah buku yang berjudul sama ditulis oleh Candace Bushnell, merupakan olahan dari kolom yang ditulisnya di koran New York Observer terinspirasi percakapan antara dirinya dengan sahabat-sahabatnya para wanita karir lajang di New York. Dalam kata pengantar yang ditulis Bushnell Sex and the City merupakan hasil dari “spent hours discussing our crazy relationships, and came to the conclusion that if we couldn't laugh about them, we'd probably go insane. I suppose that's why Sex and the City is such an unsentimental examination of relationships and mating habits.”[1]
Stasiun tv kabel ini bekerja sama dengan Paramount; menayangkan sebuah kisah mengenai persahabatan empat orang perempuan muda lajang di kota megapolitan. “Sex and the City focuses on a group of women, each of whom represents an archetype of contemporary womanhood.”[2] Mereka me-representasikan gambaran perempuan yang dinamis, mandiri, memiliki karier yang mapan, cantik, berani, serta tidak takut untuk membicarakan seks, yang bahkan di Amerika Serikat masih dianggap tabu (private matters). Empat orang perempuan muda berusia 30-an ini adalah Carrie Bradshaw (diperankan oleh Sarah Jessica Parker) seorang penulis kolom, PR executive dan sexual libertine Samantha Jones (Kim Cattrall), pengacara korporat and relationship cynic Miranda Hobbes (Cynthia Nixon) serta menejer galeri seni dan romantic optimist Charlotte York (Kristin Davis). Penayangan serial ini bertahan hingga musim tayang ke-enam dan beberapa tahun yang lalu di buatlah film layar lebar dari serial ini karena permintaan pasar yang masih tinggi terhadap ending kisah ini.
Pada episode perdana musim tayangnya yang pertama, dibuka dengan argumen bahwa perempuan pun dapat melakukan hubungan seks tanpa perasaan seperti laki-laki, “Can women have sex like a man?” dengan semangat seperti itu Carrie selalu membawa beberapa bungkus kondom dalam tasnya. Tetapi dia bertabrakan tidak sengaja dengan seorang laki-laki, kemudian dikenal dengan Mister Big, yang mengakibatkan semua isi tasnya berserakan di jalan, tetap ada perasaan rikuh Carrie ketika laki-laki itu tersenyum dengan ekspresi heran namun terhibur. Sex and the City mem-populerkan atau dapat dikatakan mengemas sebagian muatan feminisme dalam kemasan cantik bernama budaya populer. Dalam episode ke 5 di musim tayang ke-dua, banyak kritik-kritik tajam yang dilontarkan dalam dialog antar pemeran yang mengkritik kehidupan mereka sebagai perempuan. Ketika Carrie sedang mengalami fase putus cinta dan Miranda memrotes mengapa mereka sebagai empat perempuan intelek hanya membicarakan masalah laki-laki dan pacar saja, yang seringkali terjadi dalam perbincangan antara sahabat perempuan sebagai topik yang paling seru.
Bagaimana dengan Indonesia sebagai pengkonsumsi produk populer yang satu ini? Sex and the City sempat di tayangkan di Indonesia hingga musim tayang ke-tiga, di sebuah stasiun tv swasta setiap hari Jumat malam menjelang tengah malam. Banyak perempuan pekerja di jajaran menengah hingga atas maupun mahasiswi yang menanti-nantikan jam siar tayangan ini. Bahkan sebuah produk susu pelangsing membuat jingle iklan yang mirip dengan jingle serial ini. Citra yang dipresentasikan oleh para pemerannya berhasil memikat hati banyak perempuan, yang bukan hanya di Amerika Serikat, tetapi nampaknya hampir di seluruh negara yang menayangkan serial ini, bahkan membuat kelompok seperti para tokohnya dan klub menonton bersama Sex and the City. Tayangan ini juga mendapat perhatian dari the talkshow queen di Amerika Serikat yang sempat mengulas tayangan ini beberapa tahun lewat.
Pada dasarnya film ini masih memiliki aura cinderella syndrom namun dikemas dalam package yang lebih menarik dengan lapisan feminisme. Namun dapat terlihat dalam kisah cinta antara si tokoh utama Carrie Bradshaw, seorang penulis kolom seks di koran New York Observer, dengan seorang pria yang dipanggilnya Mister Big. Dia adalah seorang pria mapan sukses yang menduda berumur 40-an, seorang pengusaha yang egois dalam menjalin hubungan dengan Carrie. Seperti lagu yang dipopulerkan oleh kelompok vokal BBB, “putus nyambung” demikian juga kisah cinta antara Carrie dan Mister Big dalam serial ini. Di era post-modern atau mungkin post-feminist ini, ternyata banyak perempuan yang masih belum dapat melepaskan diri dari cinderella syndrom dalam kemasan yang serba glamour dan sangat populer. Though eventually, Mister Big melamar Carrie dan they live happily ever after, setidaknya demikian dalam Sex and the City The Movie yang pertama, yang sebentar lagi akan release sequelnya.
  1. II.               Observasi
Fenomena serial ini cukup terasa hingga ke Indonesia, meskipun setelah musim tayang ketiga serial ini tidak lagi ditayangkan di Indonesia. Namun toh tidak menghambat keinginan para penggemarnya untuk tetap meneruskan menonton dengan membeli kepingan dvd di Mangga dua, Glodok, atau ITC Ambassador. Perempuan muda banyak yang merasa gambaran dirinya sebagian diwakilkan oleh ke-empat tokoh perempuan ini. Bagaimana perempuan-perempuan ini terbuka pada seksualitasnya di tengah dunia kerja yang banyak di dominasi laki-laki.
Keterbukaan dan pengakuan bahwa perempuan adalah makhluk seksual tertutup oleh lapisan kewajiban yang mengiringinya. Misalnya seorang perempuan “baik-baik” lebih banyak tinggal di rumah atau ahli mengerjakan tugas-tugas domestik. Bilamana perempuan bekerja di luar rumah, maka ketika tiba di rumah diharapkan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah. Tidak demikian dengan laki-laki, mungkin inilah yang disebut sebagai standar ganda. Perempuan sebagai “super woman” atau “wonder woman” yang sebaik-baiknya memenuhi “ekspetasi” sebagai wanita karir yang cemerlang dan jika dia seorang istri ditambah sebagai istri yang penuh pengabdian pada keluarga dengan mengerjakan semua tugas-tugas rumah setelah bekerja seharian di kantor.
Serial ini banyak mengangkat isu-isu seksual, bukan hanya preferensi maupun “fetishes” tetapi juga hal-hal seperti kesehatan organ reproduksi, penggunaan “sex toys”, serial ini yang pertama kali mengulas kesemuanya ini, bahkan di negara pemroduksinya sendiri serial ini fenomenal, seperti yang dikutip dari Akas dan McCabe dari Holden “’Topics thrashed out during the gabfests over the six seasons range from anal sex and female ejaculation to vibrators, cunnilingus, abortion, infertility and sexually transmitted diseases. ‘Never in an American film or TV series has sophisticated girl talk been more explicit, with every kink and sexual twitch of the urban mating game noted and wittily dissected.’”[3]
Tentu saja muatan dalam hal mengenal dengan seksualitas tidaklah seperti apa yang ditampilkan dalam media, ataupun seperti Sex and the City, karena konteks budaya Indonesia yang berbeda, dan mungkin hanya sebagian kecil kalangan saja yang memiliki gaya hidup mendekati ke-empat karakter tersebut diatas. Umat Kristen, atau sebagian dari umat Kristen, masih tertutup dalam hal seksualitas dan ngeri mendengar kata feminisme. Namun tidak diragukan lagi pengaruh budaya populer dalam serial ini memiliki paling tidak sedikit pengaruh dalam gaya hidup perempuan berusia 30-an, “In many ways, Sex and the City has functioned as a forum about women’s sexuality as it has been shaped by the feminist movement of the last 30 years.”[4] Jika dapat dikatakan bahwa serial Sex and The City merupakan bentuk populer dari gerakan feminisme (ataukah kritikannya?). Meski masih dengan bumbu-bumbu romantika ala sinderela yang sangat khas Hollywood. Memang bukan tugas media untuk memberikan nilai-nilai moral sebagai bagian dari tayangan hiburan, dan inilah yang sebenarnya menjadi tugas komunitas, yang bisa juga memanfaatkan media.
Bagaimana dengan Tuhan? Bagaimanakah gambaran Tuhan dalam serial ini? Hanya ada satu karakter yang dikisahkan memiliki semacam religiusitas, yaitu Charlotte York. Sedangkan yang lain seperti Carrie dikatakan seorang Agnostik dan 2 yang lain sebagai Atheis. Dalam episode 7  di musim tayang pertama, dikisahkan Carrie pertama kali menginjak kaki di gereja karena ingin bertemu dengan ibu dari kekasihnya, yang Atheis, saat itu dengan menyeret salah seorang sahabatnya yang juga Atheis, dan berkata “All this ladies in church, wearing hundreds worth of hat and straight to cocktail.” Kegusaran Carrie ditanggapi oleh Mister Big yang dengan santai menjelaskan mengapa dia tidak mengajak Carrie menemui ibunya di gereja “I only go to church to see my mom, not more than that. If it’s important to you to see my mother, i’ll take you to her home.” Terlihat bahwa gereja dalam film ini merupakan sebuah tempat yang sangat terpisah dari kehidupan sekitar namun kemudian dalam kehidupan sehari.
Carrie bahkan membuat lelucon mengenai Charlotte yang dikatakan religius, ketika dia sedang melakukan hubungan intim yang memuaskan sebanyak 7 kali dan berteriak “GOD” saat mencapainya, musim tayang kedua episode 5 “And there that Friday, she met God 7 times, that’s quite a lot for a religious person.” Dalam hal ini, Carrie memarafrasekan kepopuleran suatu anggapan dalam kebudayaan Hindu bahwa energi tertinggi adalah ketika mencapai kepuasan dalam berhubungan intim, seolah begitu dekat dengan Tuhan, atau orang Prancis mengungkapkannya dalam frase “La petite morte.”[5]
Jelas sekali bahwa Carrie dan kawan-kawan hidup dalam dunia yang sangat terpisah dari religiusitas. Tetapi sepanjang pertengahan musim tayang ke-5 hingga akhir dari musim tayang ke-6, nampak nilai religiusitas mulai dimunculkan. Yaitu ketika Charlotte memutuskan hendak menikah dengan Harry Goldenblatt, pengacara perceraiannya, yang seorang Yahudi. Charlotte berusaha memertahankan her religious view sebagai seorang episkopalian, tetapi terbuka untuk belajar agama Yahudi. Akhirnya Charlotte di baptis menjadi seorang Yahudi, setelah sebelumnya mengadakan pesta perpisahan dengan imannya dengan cara memasang pohon natal lengkap dengan segenap perlengkapannya di bulan Juni. Charlotte meraih hidup baru yang lebih baik dengan seorang suami dan religiusitas yang baru, bahkan Charlotte menguatkan iman suaminya.
Melihat hal ini, menurut saya dalam pandangan sekelompok masyarakat bahwa Kekristenan mulai berkurang nilai jualnya. Sedangkan agama-agama Timur lain justru sedang mengalami revival. Salah satu episode yang lain ke-empat sahabat ini berbondong-bondong memelajari spiritualitas timur Tantrik. Dalam masyarakat posmo, keunikan spiritualitaslah yang dicari, namun Kekristenan justru berusaha menyeragamkan “spiritualitas”. Ini mengingatkan saya pada film Chocolat yang diputar di kelas pada satu kesempatan. Aturan-aturan gereja yang terkadang diberlakukan begitu baku sehingga satu unsur yang paling penting dalam Kekristenan tersingkirkan, kasih. Di Prancis sendiri begitu banyak bangunan gereja yang megah dan indah, sebuah karya seni tetapi ditinggalkan oleh “gereja”nya dan menjadi diskotik atau museum, dan jika beruntung menjadi Masjid. Orang-orang Kristen di Prancis beribadah pada ilmu pengetahuan dan politik ataupun kebudayaan itu sendiri. Toh, bagi sebagian masyarakat Eropa, agama merupakan kebudayaan. Saya rasa hal ini masih jauh terjadi di Indonesia, tetapi kemungkinan akan selalu ada.
Perkembangan media (baik elektronik maupun internet) berkembang sangat pesat serta memiliki pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat, pendapat Meyrowitz yang ditulis oleh Lynch, bahwa dunia tidak lagi dibentuk hanya dengan ide-ide, tradisi-tradisi, serta kebiasaan-kebiasaan yang penting dalam komunitas lokal mereka. Hal ini dapat mengarah pada longgarnya perilaku yang sebelumnya memiliki keyakinan mengenai ketertantangan dunia atau termodifikasi dalam terang ide-ide dari kebudayaan lain.[6] Masyarakat Indonesia, atau lebih tepatnya penduduk di kota-kota besar yang memiliki tingkat interaksi antar kebudayaan tinggi seperti Jakarta, Surabaya, Jogja, Medan, juga memiliki tingkat “melek media” yang tinggi. Karena interaksi antar kebudayaan yang tinggi serta kesadaran bahwa dunia berubah dari tradisi lokal ketika dmereka dibesarkan dan sekarang bergeser ke arah kebudayaan yang harus beradapatasi dengan kebudayaan lain dengan virtues yang berbeda, menciptakan kebudayaan hybrid yang berusaha untuk mengakomodasi perubahan pola perilaku serta kebiasaan yang mulai berubah.
Tren menjadi agama baru dalam masyarakat yang harus di ikuti jika tidak ingin dibilang kolot atau ndeso. Tidak hanya dalam hal pakaian, tetapi juga kesehatan, gaya hidup serta filosofinya. Dalam rangka mencari keunikan identitas dan cara peng-ekspresiannya yang ter-representasikan dari cara berbicara, gaya hidup, bahkan berpakaian yang kerap mengarah pada peng-eksklusifan kelompok. Seperti komunitas punk rock, komunitas indie, dan lainnya yang pada dasarnya mengusung slogan anti kemapanan dan sekarang menjadi begitu populer di generasi muda.
Sedangkan generasi yuppies,[7] justru semakin mencari keamanan dalam hal materi dan bergelut dalam ketidak amanan spritual yang mendorong ke arah pencarian spiritual yang dapat mem fasilitasi kehidupan mereka. Sehingga seringkali terjebak dalam spirituality cafetaria, dengan munculnya banyak gerakan-gerakan spiritualitas seperti Kabalah (dipopulerkan oleh Madonna), Scientology (dipopulerkan oleh Tom Cruise, Nicholas Cage dan John Travolta), Buddha (di populerkan oleh richard Gere) diskusi-diskusi mengenai berbagai dimensi teologi serta spiritualitas Islam pun saat ini tengah marak diselenggarakan di Eropa dan Amerika.

  1. III.           Penutup
Bila kita melihat saat ini, gaya hidup generasi yuppies, yang mengaku begitu banyak dipengaruhi oleh posmodernisme dan bagi kaum perempuan feminisme menjadi gaya hidup. Kesetaraan dalam hal ini bukan lagi hanya masalah politik ataupun HAM, tetapi juga kesetaraan dalam hal seksualitasnya, yang menurut saya merupakan HAM. Banyak kaum pekerja perempuan di Indonesia apalagi mereka yang sudah mengenyam bangku pendidikan tinggi dan pendidikan tinggi lanjut baik di dalam maupun di luar negeri, memiliki gaya hidup yang mungkin dua puluh tahun lalu menjadi skandal dan bisa dibuang dari masyarakat, apalagi keluarga.
Kebebasan dalam memilih pasangan yang sesuai dengan kriteria merupakan privilege yang saat ini tidak hanya di miliki oleh kaum laki-laki. Bahkan banyak perempuan menyukai kebebasan dalam memilih pasangannya. Jika dalam novel Pramudya Ananta Toer yang berjudul Gadis Pantai, perempuan dari kalangan yang lebih rendah dapat dijadikan sebagai istri percobaan dari golongan priyayi, supaya bila saatnya si laki-laki priyayi ini menikah dengan perempuan priyayi dapat menjadi suami yang baik. Maka di Indonesia saat ini, setidaknya di kelompok pendidikan tertentu, perempuan-perempuan yang berpendidikan melakukan perjalanan mencari cinta dengan lebih ekspresif, menjadi yang memilih, tidak lagi pasif serta menunggu untuk dipilih.
Banyak aliran fundamentalis bergerak ke arah sebaliknya, jargon-jargon mengenai tugas dan kewajiban perempuan yang adalah harus tunduk pada suami sebagai imam dan kepala keluarga yang menuntut penundukan absolut perempuan, juga terhadap anak-anak. Dapat memberi gambaran bahwa Allah seperti ini menuntut penundukan absolut dari para hambaNya. Sehingga tentu istilah rekan kerja Allah menjadi tidak masuk akal, karena seorang rekan memiliki hak untuk berpendapat dan mengambil keputusan bersama. Juga, jika Allah menciptakan laki-laki dan perempuan mengapa hanya laki-laki yang diberi begitu banyak perhatian dari Allah?
Perlunya penggambaran Allah yang lebih down to earth menjadi kebutuhan yang harus segera di jawab dalam pergumulan gereja. Allah yang memahami keunikan setiap pribadi dalam gejolak budaya populer yang semakin merangsek ke dalam kehidupan umat Kristen, yang tidak mengalienisasi. Menghadapi gaya hidup yang mengarah pada pola konsumerisme dan hedonisme, yang bukan hanya dalam kemasan budaya populer (seperti beberapa gereja karismatik lakukan namun tetap dengan konsep fundamentalis). Saya rasa Allah juga telah siap masuk dalam kehidupan posmodern umatNya.
Inilah Allah yang hidup dalam dunia, dunia yang kompleks dengan segala permasalahannya. Sebuah Pribadi yang dinamis mengikuti gejolak warna kehidupan umatNya

Daftar Pustaka
Akass, Kim & Janet McCabe editor. Reading Sex and the City I.B.Tauris & Co Ltd 6 Salem Road, London W2 4BU 175 Fifth Avenue, New York, 2004.
Bushnell, Candace. Sex and the City New York, Warner Books dan Atlantic Monthly Press, 2001.
Henry, Astrid. “Orgasms and empowerment: Sex and the City and the third wave feminism”, dalam buku Reading Sex and the City I.B.Tauris & Co Ltd 6 Salem Road, London W2 4BU 175 Fifth Avenue, New York, 2004.
Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture Blackwell Publishing, Oxford UK, 2006.

[1] Candace Bushnell, Sex and the City ( New York, Warner Books dan Atlantic Monthly Press, 2001), hlm. 3.
[2] Astrid Henry, “Orgasms and empowerment: Sex and the City and the third wave feminism”, dalam buku Reading Sex and the City (I.B.Tauris & Co Ltd 6 Salem Road, London W2 4BU 175 Fifth Avenue, New York, 2004), hlm. 66.
[3] Kim Akass & Janet McCabe editor, Reading Sex and the City (I.B.Tauris & Co Ltd 6 Salem Road, London W2 4BU 175 Fifth Avenue, New York, 2004), hlm. 3.
[4] Astrid Henry, “Orgasms and empowerment: ..., hlm. 66.
[5] Artinya kematian kecil.
[6] Gordon Lynch, Understanding Theology and Popular Culture (Blackwell Publishing, Oxford UK, 2006), hlm. 54.
[7] Generasi setelah baby boomers yaitu mereka yang tidak bisa hidup tanpa secangkir starbucks di waktu pagi untuk mengawali hari.

Indonesia Social Ethics (My Sketch)

1. Adakah etika mutlak yang universal, atau etika sosial relatif dan tergantung konteks?
Etika mutlak yang universal menurut Immanuel Kant itu ada, dan hal ini berlaku di berbagai tempat dan di segala waktu. Etika mutlak berlaku dengan nilai-nilai umum yang diakui oleh banyak masyarakat, sehingga benar atau salahnya tindakan dinilai dengan ukuran yang sama. Hal-hal yang umum tersebut menurut Gula digolongkan menjadi norma formal yang berhubungan dengan karakter orang . Seperti misalnya ‘jangan membunuh’, hal ini adalah mutlak hukumnya dimana-mana dan disegala waktu; namun menurut Maguire ketika hal ini diperhadapkan pada situasi dan alasannya ‘jangan membunuh’ menjadi relatif, dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan seperti “what” yang mengungkapkan materinya, “why” menguak alasan suatu tindakan dilakukan, “how” dengan cara bagaimana tindakan tersebut dilakukan, “who” dan oleh siapa karena setiap orang memiliki keunikannya sendiri, “when” dan “where” meskipun pertanyaan-pertanyaan ini jarang diperhatikan namun dapat membawa kita fokus pada kenyataan . Seperti contoh berikut: Ketika ada seorang teman yang berkunjung ke Bangladesh, suatu saat mereka sedang bermain tenis dengan sparing partner adalah rekan mereka dari Bangladesh sendiri, si teman ini menyukai permainan rekannya dan kemudian mengacungkan jempolnya dengan maksud untuk mengatakan bahwa permainannya baik atau bagus. Namun yang terjadi adalah rekannya dari Bangladesh ini mendadak menjadi pucat pasi dan tampak bingung serta menanyakan apa maksudnya. Si teman ini kemudian menanyakan ada apa, dan rekan Bangladeshnya menjelaskan bahwa mengacungkan jempol di Bangladesh berarti mengajak berkelahi. Tangan terkepal dengan jempol di acungkan (shoving thumb up), dalam kebanyakan budaya seperti Indonesia, Inggris dan Amerika atau negeri lain; simbol ini memunyai arti baik, hebat, bagus akan tetapi tidak demikian di Bangladesh, simbol ini memiliki makna yang jauh berbeda, yaitu untuk mengajak bertarung (asking to fight). Hal ini menjadikan simbol mengacungkan jempol tidak lagi mutlak baik karena harus dilihat konteksnya menjadi partikular, yang menurut Gula termasuk dalam norma materil. Bagaimana kita merumuskan baik itu, karena baik itu relatif, baik dengan saya tidak berarti baik untuk orang lain, karena baik atau tidak suatu tindakan itu diukur dalam pemahaman komunitas sosial.

2. Sejauh mana hukum adalah relevan untuk etika sosial di Indonesia.
Hubungan umat Kristen dengan hukum dari Alkitab, umat Islam dengan hukum dari Al Qur’an. Hukum Negara dengan hukum agama Hukum sangat penting dalam kehidupan bernegara Indonesia. Hubungan umat Kristen sendiri dengan Alkitab, tidak boleh ada satu katapun yang dapat dibuang, dengan etika Biblis dapat memelajari etika dari Alkitab dan Alkitab sendiri merupakan salah satu sumber penting, karena penulisan dalam Alkitab yang berupa ajaran, puisi, sejarah, narasi, dari situ dapat digali budaya, pengalaman, ilmu sosial/humaniora, rasio yang dapat dijadikan referensi. Menurut Wright, dalam kristus umat Kristen diberikan hubungan perjanjian yang intim kepada Allah yang hukum Perjanjian Lama tunjukkan; meski umat Kristen adalah bebas dari hukum Perjanjian Lama (Rome 3:19; 6:14), namun bukan berarti sama sekali tidak memiliki hukum (I Corr. 9:21) akan tetapi melalui Roh Kudus umat Kristen dibuat mampu untuk memenuhi hukum dengan utuh karena kasih kepada Allah dan juga mengasihi sesama manusia dan hal ini mungkin terjadi dikarenakan kebebasan yang ada dalam perjanjian yang baru dalam hubungan dengan Kristus . Umat Islam memiliki hukum syariat yang telah ada dan banyak mengatur mengenai hadiz-hadiz yang banyak beredar dan belum jelas kebenarannya. Hadiz-hadiz ini sesuai pada konteks nabi saat itu namun tidak sesuai dengan konteks yang lain, diturunkan bagi mereka, bersifat mutlak ataupun sunah. Hal ini menurut Nurcholish Madjid, sebagai agama yang memiliki suara mayoritas patutlah untuk didengar aspirasinya juga perlunya para ahli dalam hukum Islam dan syariah untuk mengolahnya dalam konteks ruang dan waktu budaya Indonesia yang modern . Hukum negara mengakui dan menghormati hukum agama yang mutlak, seperti contoh dengan memberlakukan hari libur seperti Libur Idhul Fitri, Maulid Nabi Muhammad, Nyepi, Natal, Waisak, Paskah, Ascension Day dan membiarkan umat masing-masing pemeluk agama menjalankan hukum agamanya pada saat-saat itu.

3. Pendekatan deontologis, teleologis, prima facie dan cocok. Pendekatan deontologis menurut Adeney, berasal dari kata Yunani “ontos” yang memiliki arti sesuatu yang ada pada dirinya sendiri; sehingga pendekatan deontologist merupakan kebaikan dan kejahatan merupakan hal yang kodrati dari tindakan atau seorang pelaku jadi tindakan-tindakan dan perilaku tertentu benar atau salah di dalam dan dari dirinya sendiri, sehingga bukan soal akibat yang timbul karenanya pada dunia . Dalam pendekatan ini apapun yang dilakukan tanpa melihat mengapa dibaliknya melakukan suatu tindakan tetaplah dsalah pada dirinya. Seperti misalnya ketika saya masih melayani di sebuah lembaga Kristen yang bergerak dalam pengentasan harkat Anak Jalanan di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara, ada kasus dengan seorang anak jalanan, sebut saja namanya Eti. Eti adalah seorang yang ramah dan selalu datang dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh lembaga tempat saya bekerja bahkan cenderung akrab dengan kami para pekerjanya. Sehingga kami sering meminta bantuan untuk dapat menjadi penghubung kami dan memberikan imbalan yang cukup padanya. Kami tahu bahwa dia memang hidup di pemukiman kumuh dan tempat tinggalnya terbuat dari papan bekas di bekas stasiun kereta api di Tanjung Priok. Kami juga memiliki Rumah Singgah di Tanjung Priok, dan tidak memiliki pengurus untuk membersihkan tempat itu, kamipun memutuskan untuk mempekerjakan Eti dengan imbalan mendapat tempat tinggal gratis yang jauh lebih layak dan makan gratis serta gaji yang disesuaikan dengan tanggung jawab membersihkan tempat tersebut setiap hari. Selama beberapa bulan pertama Eti menjalankan kewajibannya dengan baik dan nampak sangat bersyukur, akan tetapi memasuki setengah tahun terjadi beberapa kejanggalan dan kamipun menerima beberapa laporan yang menunjukkan terjadinya pencurian. Setelah menyelidiki hal ini selama beberapa waktu, serta memiliki bukti-bukti yang cukup kami akhirnya memanggil Eti dan menanyakan apa yang terjadi, Eti terus menyangkal dengan berbagai alasan dan berkelit. Namun ketika kami menunjukkan bukti-bukti yang ada, Eti pun tidak dapat mengelak lagi dan Eti pun mengaku bahwa dia terpaksa harus mencuri karena gaji yang kami berikan tidaklah cukup untuk membiayai adiknya yang ada dalam penjara anak karena mencuri kabel guna membiayai biaya sekolahnya, keberadaan adiknya pun kami telusuri dan memanglah benar adiknya berada dalam tahanan. Eti pun selama ini sebelum bergabung dengan kami juga mencopet. Memang disatu sisi keinginannya untuk menolong kehidupan adiknya yang berada dalam penjara anak untuk dapat hidup lebih layak dengan membayar “upeti” pada sipir-sipir penjara, namun mencuri untuk memenuhinya tidaklah dapat kami tolerir, sehingga kamipun melepaskannya pergi dan sangat menyesal karena pekerjaan Eti sebenarnya bersih dan rapi, namun kami tidak yakin bahwa dia akan stop mencuri ditempat kami dan atau di tempat lain yang mungkin suatu saat akan membuatnya menyeret nama lembaga kami bila ia tertangkap polisi. Menurut Adeney, pendekatan deontologist ini seperti pagar yang tidak boleh dilewati oleh siapapun, bilamana ada yang melewatinya, maka penghakimannya adalah benar atau salah dan tidak terdapat garis abu-abu. Pendekatan teleologis, berasal dari kata Yunani “telos” yaitu suatu akhir, hasil atau tujuan, sehingga dapat dipahami bahwa kebaikannya akan dapat dilihat pada hasil akhir yang dicapai, sehingga bisa saja perbuatan nampak tidak baik namun demikian hasil akhirnya memiliki tujuan yang baik, seperti dalam Matt 7:20 “dari buahnya kamu akan mengenal mereka” . Dalam hal “jangan mencuri” dalam pendekatan deontologis perbuatan mencuri ini benar-benar salah, tetapi bila mencuri untuk menolong adiknya dari perlakuan buruk(dilecehkan) saat hidup dipenjara tujuannya mungkin saja baik. Sehingga teleologis ini bersifat relative, sehingga bisa saja cara yang dilakukan salah tetapi memiliki hasil akhir yang baik. Pendekatan prima facie merupakan suatu pendekatan teologi moral yang dikembangkan oleh teologi moral Roma Katolik. Prima facie ialah penilaian pada pandangan pertama, sehingga kaidah-kaidah prima facie haruslah mutlak dalam semua kebudayaan dan dalam segala zaman, sehingga bila kita melanggarnya hal tersebut merupakan suatu kejahatan. Bilamana dalam suatu situasi tertentu apabila suatu tindakan perlu untuk dilakukan dengan terpaksa mengorbankan satu perintah agar dapat menyelamatkan/mempertahankan nilai yang lebih tinggi maka tindakan ini harus dilakukan dengan penuh rasa penyesalan . Seperti misalnya, ada sebuah kisah yang saya dengar pada Perang Dunia II di Eropa, pasukan Jerman Nazi menginvasi wilayah Belanda, di sebuah desa rakyatnya telah mengungsi ke pastori gereja, dan pasukan Jerman tersebut, memasuki pastori dan kemudain meminta kepada pastur yang bertugas disitu untuk menyerahkan seorang penembak jitu (sniper) yang diketahui bersembunyi di desa tersebut. Pastur itu mengenal penembak jitu tersebut dan bersembunyi diantara jemaatnya dengan bantuan pastur itu. Karena si penembak jitu membantu memerangi kekejaman Nazi. Pemimpin pasukan berkata pada pastur bilamana Pastur itu menyerahkan penembak jitu itu, maka seluruh jemaatnya akan selamat. Pastur tersebut bergumul, dan lagi pemimpin pasukan memanggilnya dan berkata, kami tahu pastur ingin melindungi penembak jitu tersebut karena bagi pastur orang itu baik, jadi pemimpin pasukan meminta pastur untuk memberikan saja jemaat yang dia anggap tidak layak, suka memukul atau melakukan tindakan lain yang merugikan orang lain, pastur tersebut meolak karena baginya dia harus melindungi jemaatnya. Pastur itu menawarkan dirinya sendiri untuk di tembak oleh pemimpin pasukan, namun pemimpin pasukan itu berkata bahwa jika pastur itu menyerahkan dirinya sendiri untuk ditembak maka seluruh jemaatnya pun akan ikut di tembak mati. Dengan waktu yang diberikan untuk menimbang keadaan amat singkat dihadapan pemimpin pasukan dengan senapan yang sudah dikokang, Pastur tersebut dengan menyesal dan menangis memberikan kode serta menyerahkan dua orang jemaatnya yang dianggap paling tidak layak untuk diselamatkan untuk ditembak mati oleh pasukan Nazi. Pendekatan etika cocok ini dilakukan dengan melihat konteks budaya yang berlaku disekitarnya, dapat dilakukan ketika suatu bangsa, misal Indonesia, memiliki begitu banyak budaya dengan nilai-nilai yang tidak sama antara satu tempat dengan yang lainnya. Dengan mencari jalan tengah antara apa yang ada dalam Alkitab dengan pengalaman yang terjadi ; mencari tahu benar-benar kehendak Tuhan.

1. Enam pendekatan masalah moral di Indonesia mana yang paling bermanfaat dalam konteks Indonesia. Di Indonesia sendiri ada 6 pendekatan etika, yaitu: hukum, prinsip, ilmu sosial, batin, kebajikan dan cerita. Dalam hal ini menurut Bernie hukum itu penting, akan tetapi bukanlah segala-galanya. Hukum sendiri ada tiga, yaitu, hukum adat yang bersifat tradisional, hukum agama yang sifatnya mutlak, dan hukum sekuler yaitu hukum negara. Banyak terjadi saat ini bahwa masyarakat suku tertentu, misal suku Batak atau Toraja, yang dikenal dengan kuatnya peraturan adat mereka, sehingga masyarakat suku tersebut lebih takut bila dia tidak melakukan hukum adat ketimbang bilamana dia tidak melakukan hukum agama, demikian pula di Kalimantan. Ketika saya bekerja di Jakarta, rekan saya ada yang baru pulang dari pelayanan pekabaran Injil kepada suku Dayak, dan dia merasa kaget dan kecewa ketika mendapati beberapa orang yang dikenalnya beberapa tahun lalu merupakan orang yang baik saat memeluk agama sukunya namun justru ketika dia menjadi pengikut Kristus, hidupnya di penuhi dengan perzinahan, kemabukan dan kekerasan, dan hal ini tidak hanya dijumpainya sekali waktu, Rekan saya ini merasa sangat kecewa, dan mulai mempertanyakan apakah tindakannya mengabarkan Injil apakah justru merusak moral masyarakat tersebut yang sebelumnya dalam agama suku yang dianut mereka. Analisis sosial menurut saya paling bermanfaat dalam konteks Indonesia, dengan mencari tahu apakah yang menyebabkan timbulnya masalah dan memahami secara obyektif penyebabnya untuk kemudian mencegah terjadinya masalah yang berkelanjutan. Secara karitatif, yaitu kebutuhan yang memang diperlukan saat itu, namun pendekatan yang karitatif pun tidak dapat terus menerus, diperlukan pendekatan yang transformative, memecahkan masalah dengan melihat sebenarnya apa yang menjadi akar permasalahan, membuat terobosan dengan berdialog dan membuka kemitraan dengan orang-orang lain guna membantu memecahkan masalah yang ada.

2. Kelebihan dan kekurangan hukum adat. Sejauh mana adat penting untuk mengatasi masalah etis sosial di Indonesia. Hukum adat merupakan hukum mutlak dalam kelompok yang ada didalamnya serta mengikat kuat. Kekuatan mengikat dari hukum adat ini merupakan suatu kelebihan dipanding dengan hukum Negara yang sepertinya saat ini mengalami degradasi kewibawaan dan tidak memiliki kekuatan. Dalam masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia ini dengan multi etnis dan multi budaya, problematika yang ada ialah bagaimana mengkonsolidasikan bermacam-macam parameter struktur sosial yang tercipta olehnya . Pandangan satu dinilai dengan sudut pandang lain melalui kacamata dpandangan yang lain akan menghasilkan berbagai kesalahpahaman. Menurut Hefner dalam tulisan Nasikun, didalam masyarakat multi etnik dan multicultural “percakapan dan praktek-praktek publik melalui interaksi sosial yang kohesif diantara elemen-elemen masyarakat melalui cara-cara lain diluar dominasi politik.” Namun di Indonesia ini yang terjadi adalah konsolidasi multikultural dan multi etnis ini dilakukan dengan cara kekuasaan.

Feminist Christology (New taste of my faith)

I. PENDAHULUAN
Perempuan seringkali diposisikan kedudukan yang lebih rendah dari Laki-laki, hal ini banyak terdapat serta dijumpai dalam berbagai kebudayaan dibelahan dunia manapun; bahkan saat modernisasi yang menyentuh banyak bidang dan sisi kehidupan yang lain, ketidaksetaraan masih sering terjadi dalam berbagai hal. Perempuan menjadi golongan kelas ke-dua dibandingkan dengan Laki-laki yang nampaknya menjadi ciptaan yang paling sempurna dan unggul diatas ciptaan yang lain, bukan hanya dalam kebudayaan akan tetapi juga dalam hal agama, yang seolah-olah membenarkan ketidaksetaraan antara Laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini Agama Kristen juga tidak luput dari budaya patriarkal, hal ini nampak seperti dalam surat Paulus kepada jemaat Korintus (I Kor 11:3 kepala dari perempuan ialah laki-laki) sehingga kerap menjadi justifikasi untuk perlakuan ketidaksetaraan yang terjadi hingga saat ini, menuntut penundukan penuh perempuan pada Laki-laki. Beberapa teolog feminis, seperti Cady Stanton berpendapat bahwa ajaran-ajaran Paulus mengindikasikan seksis bahkan yang telah terlihat dimasa awal Kekristenan; dalam lingkungan Kristen yang menggaungkan kasih dan kemanusiaan yang begitu agung sehingga hal ini menjadi ironi bila dilihat. Teologi feminis sendiri di golongkan menjadi dua, yaitu: Aliran revolusioner yang di ciptakan oleh perempuan-perempuan yang telah menyelidiki tradisi Kristen dan berkesimpulan bahwa tradisi-tradisi yang ada di dominasi oleh laki-laki serta tidak dapat memberikan harapan akan perbaikan; sehingga mereka memilih untuk keluar dari Gereja dan menyapa Allah dengan Dewi. Sedangkan Aliran reformis tetap memiliki harapan bahwa tradisi Kristen dapat dirubah karena memiliki unsur pembebasan yang kuat; mereka memilih untuk tetap tinggal di gereja dan berjuang mengadakan pembaruan. Meski banyak teolog feminis mengatakan bahwa Alkitab sarat dengan unsur-unsur seksis yang menjunjung budaya patriarkal dan androsentris dikarenakan metode penafsiran yang diterapkan menurut Frances Willard. Demikian pula Cady Stanton mengatakan nampaknya penafsiran para cendekiawan terhadap Alkitab merupakan inspirasi Laki-laki sehingga perlu di “depatriarchalized”. Tambahnya dengan kentalnya unsur-unsur patriarkal dan androsentris yang ada dalam Alkitab merupakan akibat buruknya penafsiran sehingga Alkitab dapat digunakan dalam permasalahan politik untuk menentang penderitaan perempuan.

II. KRISTOLOGI FEMINIS
Dalam bagian ini penulis ingin mengetahui bagaimana pandangan feminis mengenai Yesus Kristus. Para penulis Perjanjian Baru bukan hanya peduli ingin melakukan apa yang Yesus telah lakukan dan katakan tetapi mereka berniat untuk ingin lebih memahami apa yang Yesus maksudkan bagi pengikut-pengikut pertamanya dan memiliki arti apa hidup Yesus di masanya dan dalam lingkungan masyarakatnya. Sehingga Yesus yang saat ini kita kenal gambarannya melalui Injil yang kita baca telah melalui proses transmisi dan redaksi dalam sudut pandang Laki-laki; gambaran Yesus ini haruslah di renungkan, kemudian di diskusikan, di tafsirkan, di terima maupun di tolak untuk memahami impuls dan pentingnya kehidupan Yesus. Sejauh ini Injil melihat perempuan dalam kehidupan Yesus hanyalah sepintas lalu saja, mengenai perempuan-perempuan yang ada dalam kehidupan Yesus dalam sejarah, dan saat itu terjadi kisah yang disampaikan tersebut memperlihatkan komunitas masyarakat yang kepadanya kisah tersebut disampaikan. Sudah saatnya penafsiran dari sudut pandang perempuan sesuai dengan pengalaman imannya mendalami personifikasi Allah yang lain yang memedulikan perempuan. Yang membedakan gerakan Yesus yang ada di Palestina ialah Yesus pengajaran berpusat pada pemberitaan Kerajaan Allah, namun tradisi Injil di masa tulisan pra-Pauline, Pauline dan paska-Pauline merupakan proklamasi kematian dan kebangkitan Yesus Kristus yang terlihat jelas didalamnya. Sehingga paradigma ingatan Injil terhadap Yesus sendiri bukanlah hal yang komprehensif mengenai Yesus sejarah namun merupakan ekspresi komunitas dan individual yang mencoba mengatakan Yesus signifikansi dalam situasi yang mereka hadapi saat Injil ditulis; yang pada masa keemasan budaya Grecko-Hellenis berusaha menembus unsur-unsur patriarkal yang androsentris dengan pandangan-pandangan Yesus sebagai suatu agama baru dan dianggap suatu bidat dari agama Yahudi yang terkenal dengan monoteismenya diantara kebudayaan politeisme yang umum saat itu. Sebagai suatu agama baru yang berasal dari agama Yahudi, namun agama Yahudi bukanlah bagian integral dari gerakan Yesus—meskipun Yesus dan rasul-rasulnya merupakan pemeluk agama Yahudi yang taat—karena mengusung pembaruan. Sebab pada awal masa pertumbuhan perempuan-perempuan Yahudi pun menjadi pembawa berita Injil setara dengan murid-murid laki-laki Yesus. Sehingga masalahnya apakah Yesus Kristus mengubah budaya patriarki? Sumber Q pada Injil Lukas 7:22 “22 Dan Yesus menjawab mereka: "Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.”, menjawab pertanyaan Yohanes Pembaptis dan menegaskan bahwa Yesus mengembalikan kemanusiaan melalui perbuatan-perbuatannya sambil mewartakan Kerajaan Allah. Bagi Yesus Kerajaan Allah bukanlah diukur dari kesucian dan kemurnian dalam menjalankan hukum Taurat, namun merupakan keutuhan citra diri (self-image) manusia. Yesus menjadi mediasi bagi mereka yang dipandang rendah dan hina karena kemiskinan, sakit pekerjaan dan bahkan karena menjadi perempuan itu sendiri. Praxis and vision Yesus mengenai Kerajaan Allah merupakan mediasi terhadap masa depan bagi Allah dalam struktur dan pengalamannya di masanya dan bagi masyarakat saat itu. Pergaulan Yesus yang meliputi “pemungut cukai, pendosa, dan pelacur” sangatlah mengundang kontroversi di antara kaum Farisi. Pelacur di masa itu adalah para perempuan yang tidak memiliki keahlian, menjadi budak, atau dijual/disewakan oleh orangtua maupun suami mereka, perempuan miskin, janda, orangtua tunggal, tawanan, perempuan yang di beli untuk tentara, dan lainnya. Perempuan-perempuan ini adalah mereka yang tidak dapat meraih posisi dalam keluarga patriarkal ataupun mereka yang bekerja namun tidak berada di golongan atas atau menengah dalam hal profesi. Yesus mengundang semua orang untuk ikut serta masuk dalam pandangannya mengenai Kerajaan Allah tanpa terkecuali bahkan wanita dan pelacur, karena untuk Yesus yang terutama adalah keutuhan seseorang; pribadi yang utuh, sehat, kuat dan tahir. Saat Yesus mengusir roh jahat dalam diri seorang perempuan yang kerasukan tujuh setan (Maria Magdalena; pra-Lukan), Yesus mengembalikan keutuhan pribadi perempuan itu, mengembalikan kemanusiaannya sehingga hadirat dan kuasa Allah nampak. Dalam perumpamaannya pun Yesus banyak menggunakan gambaran perempuan. Bagaimana sebenarnya bentuk gerakan Yesus dalam budaya patriarkal?
Matius 5:3 “3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Saat itu miskin bagi bangsa Israel dianggap sebagai akibat dari ketidak-adilan, dan Allah Israel adalah Allah yang adil, dan Allah ada di pihak orang miskin serta akan membela hak mereka dan membawa perkara mereka, yang diantara orang miskin itu adalah para perempuan yang hidup dibawah belas kasihan kerabat; mereka yang kaya telah mendapat hak mereka dibumi. Sehingga Yesus memandang hidup dibumi dan hidup dalam Kerajaan Allah merupakan suatu kontinuitas yang utuh.
Markus 5:25-28 “25 Adalah di situ seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan. 26 Ia telah berulang-ulang diobati oleh berbagai tabib, sehingga telah dihabiskannya semua yang ada padanya, namun sama sekali tidak ada faedahnya malah sebaliknya keadaannya makin memburuk. 27 Dia sudah mendengar berita-berita tentang Yesus, maka di tengah-tengah orang banyak itu ia mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jubah-Nya. 28 Sebab katanya: "Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh."”
Dalam kisah perempuan ini, keadaan ekonominya yang miskin akibat pendarahan yang dideritanya; tetapi juga bahwa perempuan ini menjadi tercemar dengan keadaannya yang tidak tahir
(Imamat 15:19-31, 33: “19 Apabila seorang perempuan mengeluarkan lelehan, dan lelehannya itu adalah darah dari auratnya, ia harus tujuh hari lamanya dalam cemar kainnya, dan setiap orang yang kena kepadanya, menjadi najis sampai matahari terbenam. 20 Segala sesuatu yang ditidurinya selama ia cemar kain menjadi najis. Dan segala sesuatu yang didudukinya menjadi najis juga. … 31 Begitulah kamu harus menghindarkan orang Israel dari kenajisannya, supaya mereka jangan mati di dalam kenajisannya, bila mereka menajiskan Kemah Suci-Ku yang ada di tengah-tengah mereka itu."… 33 dan tentang seorang perempuan yang bercemar kain dan tentang seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang mengeluarkan lelehan, dan tentang laki-laki yang tidur dengan perempuan yang najis.”) melainkan juga mencemari setiap orang dan setiap barang yang disentuh olehnya. Selama dua belas tahun perempuan ini menjadi cemar sehingga diasingkan dari “umat yang kudus”. Ketika Yesus menyembuhkan perempuan ini, maka Yesus memulihakan citra dirinya dan menjadikannya utuh sebagai manusia yang tahir. Demikian pula ketika Yesus menajiskan dirinya dengan menyentuh orang mati, yaitu anak perempuan dari Yairus
(Lukas 8: 49b-56 : “… Ketika Yesus masih berbicara, datanglah seorang dari keluarga kepala rumah ibadat itu dan berkata: "Anakmu sudah mati, jangan lagi engkau menyusah-nyusahkan Guru!" 50 Tetapi Yesus mendengarnya dan berkata kepada Yairus: "Jangan takut, percaya saja, dan anakmu akan selamat." 51 Setibanya di rumah Yairus. Yesus tidak memperbolehkan seorangpun ikut masuk dengan Dia, kecuali Petrus, Yohanes dan Yakobus dan ayah anak itu serta ibunya. 52 Semua orang menangis dan meratapi anak itu. Akan tetapi Yesus berkata: "Jangan menangis; ia tidak mati, tetapi tidur." 53 Mereka menertawakan Dia, karena mereka tahu bahwa anak itu telah mati. 54 Lalu Yesus memegang tangan anak itu dan berseru, kata-Nya: "Hai anak bangunlah!" 55 Maka kembalilah roh anak itu dan seketika itu juga ia bangkit berdiri. Lalu Yesus menyuruh mereka memberi anak itu makan. 56 Dan takjublah orang tua anak itu, tetapi Yesus melarang mereka memberitahukan kepada siapapun juga apa yang terjadi itu.), seorang kepala rumah ibadah/sinagoga, namun kuasa Kerajaan Allah tidaklah tinggal diam pada kenajisan sehingga anak perempuan itu bangkit dan berjalan menjadi perempuan dewasa (karena usia menikah gadis Yahudi kala itu adalah 12 tahun).
Yesus “memberikan hidup baru” bagi kedua perempuan ini. Kedua perempuan ini yang dianggap najis karena mengalami satu fase, perempuan pertama pendarahan menstruasi perempuan kedua menyambut awal masa menstruasi, dipulihkan dari kenajisannya karena darah menstruasi yang keluar dari perempuan bukanlah sesuatu yang buruk melainkan dapat menciptakan kehidupan. KetikaYesus menyembuhkan seorang perempuan bungkuk pada hari Sabat
(Lukas 13:10-17: “10 Pada suatu kali Yesus sedang mengajar dalam salah satu rumah ibadat pada hari Sabat. 11 Di situ ada seorang perempuan yang telah delapan belas tahun dirasuk roh sehingga ia sakit sampai bungkuk punggungnya dan tidak dapat berdiri lagi dengan tegak. 12 Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya: "Hai ibu, penyakitmu telah sembuh." 13 Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah. 14 Tetapi kepala rumah ibadat gusar karena Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, …”) merupakan pelanggaran berat bagi agama Yahudi, hal ini dilakukan Yesus bukan hanya untuk membebaskan perempuan tersebut dari sakitnya, melainkan juga terutama untuk menjadikan citra perempuan itu “utuh” kembali menjadi anggota “umat Israel yang dikuduskan” keturunan Abraham yang diakui. Gerakan Yesus ini memberikan penjelasan terhadap pemahaman yang berbeda mengenai Allah yang selam ini dikenal umat Yahudi masa itu. Pengalaman-pengalaman Yesus dalam pelayanannya yang memberikan kasih-inklusif Allah yang menyeluruh, (Matius 5:45b) “…yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” Allah ini adalah Allah yang murah hati, dan baik yang menerima setiap orang dan memberikan keadilan serta kehidupan bagi setiap orang tanpa kecuali, yang menerima seluruh anggota bangsa Israel teristimewa mereka yang miskin, cacat, terbuang, pendosa dan pelacur. Tradisi awal Yesus memahami Allah sebagai kebaikan yang penuh kemurahan hati dalam kata feminine Kebijaksanaan (Sophia) ilahi (Lukas 7:35 “Sophia is justified by all her children”. Allah-Sophia dari Yesus ini mengakui serta menerima seluruh umat Israel tanpa perkecualian sebagai her children dan terbukti “benar”. Yesus-Sophia dibenarkan karena segala perbuatannya seturut kehendak Allah Sophia, Ibu-Nya .
Lukas 13:34 “34 Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.”
Bacaan ini menunjukkan saat Allah-Sophia meratapi utusan-utusannya yang lain yang dibunuh dan pelayanan Yesus-Sophia yang berusaha untuk merangkul umat Israel bagai induk ayam merangkul anak-anaknya dibawah sayapnya. Namun sayangnya segenap kasih dan kelembutan Sophia ini ditolak. Misi dan pelayanan Yesus adalah untuk memberitahukan bahwa Allah adalah Allah bagi mereka yang miskin, menderita ketidak-adilan, terbuang, dan menderita dan salah satu kelompok ini adalah kaum perempuan. Mengembalikan ke-utuhan citra diri mereka, kaum kelas dua, dan memulihkan kemanusiaan menjadi anggota “umat yang kudus”. Yesus memberitakan Allah-Sophia dan sebagai anak-Nya, Ia mengumpulkan anak-anakNya kepada Allah-Sophia yang murah hati.

III. PENUTUP
Kristologi feminis menemukan satu sisi Yesus yang karena sistem patriarkal dan dominasi kaum laki-laki menjadi terselubung akan sifat Allah yang lain. Tokoh yang penuh kasih dan kemurah-hatiannya mengasihi dalam bentuk personifikasi Sophia yang memang melekat pada Allah. Allah Sophia merupakan satu personifikasi yang begitu akrab dengan penderitaan kaum perempuan yang mengutus anakNya Yesus untuk memberitakan bahwa Allah yang mencipta dan memberi hidup serta kebijaksanaan bagi siapa saja yang memintanya, yang mengajarkan misteri dunia yang tersembunyi dan melindungi, menebus serta menegakkan keadilan juga membela kaum miskin, tertindas, terbuang, hina. Yesus yang penuh kebijaksanaan berperilaku sesuai teladan Sophia sendiri sehingga melekat gelar Yesus Sophia; ketika direndahkan dengan disalibkan, Ia dimuliakan karena perbuatannya. Suatu pendekatan feminis yang mendeskripsikan pribadi unik yang kompleks dari Yesus Sophia.

IV. DAFTAR PUSTAKA
1. Drane, John, Memahami Perjanjian Baru: pengantar historis-teologis, BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 2001.
2. Fiorenza, Elizabeth Schüssler, In Memory of Her; A feminist Theological Reconstruction of Christian Origins, The Crossroad Publishing Company, New York, 1983.
3. Johnson, Elizabeth A., Kristologi di Mata Kaum Feminis; Gelombang Pembaharuan dalam Kristologi, Kanisius, Jogjakarta, 2003.
4. Johnson, Elizabeth A., She who is; The Mystery of God in Feminist Theological Discourse, The Crossroad Publishing Company, New York, 1996.
5. Bibleworks 6, Alkitab Bahasa Sehari-hari, 2003.

Pengantar Studi Alkitab

11 pasal pertama dari Kitab Kejadian merupakan kisah akar umat Israel dan menjadi legitimasi kepercayaan iman Israel terhadap asal-usul keberadaan mereka pada dunia.
Narasi-narasi yang terdapat dalam Kitab Kejadian 1-11 merupakan sebuah teks yang kaya akan sejarah sekaligus mengandung makna teologi yang problematik di dalamnya. Narasi pertama ialah kisah penciptaan dunia menurut pemahaman iman umat Israel dan memiliki perspektif kosmik yang mengakomodir/menjadi sarana bagi umat Israel untuk menjelaskan kepercayaan dan tradisi mereka. Kedua narasi, dengan gaya yang sangat berbeda, menjelaskan bahwa dunia adalah milik Allah, dibentuk oleh keinginan Allah serta diberkati dengan kelimpahan oleh-Nya, dan harus dipelihara oleh manusia yang telah diberi kuasa namun juga dibatasi.
Narasi dalam Kejadian 3:1-24; 4:1-16, menyaksikan problematik yang intens dalam kisah penciptaan, kisah penciptaan terdapat sikap bertahan dan menolak niat baik Allah bagi dunia.
Narasi mengenai Banjir Besar menjadi sentral kisah penghancuran terhadap karya cipta Allah. Banjir air bah ini dipahami sebagai kekuatan kekacauan yang primordial, membahayakan kehidupan di bumi; menjadi alat yang dipakai untuk menjalankan kehendak Allah menghakimi ciptaanNya, terkecuali Nuh “seorang yang benar”; kemudian menjadi manusia ciptaan baru setelah Banjir Besar itu bersama dengan keluarganya. Allah kemudian membuat tanda perjanjian kesetiaan terhadap ciptaanNya (9:15-17) dengan pelangi.
Narasi ini berakhir di Kejadian 11:1-9 pada kisah Babel, sebuah pernyataan final kesombongan manusia yang menantang Allah, dan menggugah respon keras Allah. Kisah yang berasal dari berbagai sumber mitologi ini sekarang diubah menjadi pernyataan teologis penghakiman ilahi dan penyelamatan ilahi, menyelamatkan dan menghakimi menjadi definisi dari Allah umat Israel dan penghukuman Allah di dunia tempat umat Israel hidup.
Sedangkan yang kedua ialah mengenai relasi dan kekerabatan sebagai sejarah nenek moyang umat Israel dalam sistem sosial dan politis mereka. Kisah penciptaan dunia ini ditemukan dari berbagai macam sumber kebudayaan yang jauh lebih tua dan maju dari Israel sendiri, yang mungkin juga mitos, tetapi bukan berarti suatu kebohongan. Karena penulisan kitab ini muncul dari latar belakang lingkungan yang masyarakatnya biasa membagikan mitologi yang mereka miliki dengan suku-suku bangsa disekitar mereka. Dalam penulisan Narasi  Kitab Kejadian terdapat dua sumber penulisan Imamat (Priestly / P) dan Yahwist (J) yang tampaknya masing-masing berdiri sendiri namun juga terkait satu sama lain.
Bahwa dunia ini adalah milik Allah yang dibuat dari kehendaknya. Dalam narasi Penciptaan dunia Kejadian 1:1-2:4a terlihat Allah menciptakan dunia bukan dari sesuatu yang tidak ada melainkan Allah menciptakan dari yang sudah ada hanya keadaannya masih kacau, belum berbentuk; sangat mirip dengan mitologi dari Mesopotamia kuno.
Narasi pada Kain dan Habel dan munculnya penolakan manusia terhadap Allah Sang Pencipta, meskipun telah terjadi Kain membunuh Habel, Allah tetap bersikap mengasihi dan melindungi dari kehancuran  yang dihasilkan akibat tindakan manusia.
Banjir besar yang dialami oleh Nuh, merupakan suatu respons penghakiman Allah terhadap makhluk ciptaannya yang berlaku tidak sesuai dengan yang diharapkan Allah. Sehingga Allah ingin meniadakan apa yang telah Ia ciptakan dengan air bah dan membatalkan janji yang telah Ia buat sebelumnya yaitu pada waktu Penciptaan dunia. Tetapi Allah melihat Nuh dan keluarganya serta berbelas kasih padanya karena Ia berlaku benar melalui karya penyelamatan. Kisah ini berakhir dengan pengulangan janji Allah pada manusia saat Allah melukis pelangi sebagai tanda bagi Allah dan manusia.
Dari ke empat kisah ini terlihat bahwa ada penghakiman dan karya penyelamatan Allah yang merupakan fokus utama kehadiran dan aktifitas Allah. Hal ini kelihatan terjadi berulang kali karena kekerasan hati, penolakan, kekerasan dan arogansi manusia terhadap Sang Pencipta.

Dalam Kejadian 12-50, disini terdapat beberapa tokoh utama  yang memiliki peran sentral dalam membentuk karakter umat Israel; mengenai iman Israel yang timbul dari janji penyertaan Allah terhadap mereka yang dapat diurut dengan silsilah yang menuju pada manusia pertama, Adam. Pada bagian ini Allah memberikan janji pada bangsa Israel dan akhirnya digenapi Allah di dalam keturunan Israel, Daud dan Salomo.
Pada tiga generasi pertama dari nenek moyang Israel, yaitu Abraham dan Sarah, Ishak dan Ribka serta Yakub dan Rahel; cenderung berfokus pada relasi interfamilial sebagai suku yang nomaden dalam mempertahankan wilayah mereka dan apa yang menjadi hak milik mereka. Kisah ini diceritakan dlam kepentingan keluarga yang tidak dapat dipisahkan dari peran Allah baik secara tersurat maupun tersirat. Tema besar yang terdapat dalam kisah-kisah ini merupakan janji yang Allah ucapkan sendiri pada nenek moyang Israel, dimulai dari Abraham dan Sarah, untuk memberikan keturunan, anak laki-laki. Juga dalam hal kedudukan sosial dan politik Abraham beroleh janji Allah akan keamanannya.
Dalam kisah selanjutnya umat Israel menyatakan klaim mereka terhadap tanah perjanjian yang telah diberikan Allah (Kitab Yosua), dan mereka menerimanya serta merayakan pendudukan mereka terhadap daerah itu secara total sebagai penggenapan dari janji Allah.
Dan ketika umat Israel mengalami pengasingan, hal ini menjadi pengharapan bagi mereka. Keyakinan Allah masih terus bekerja hingga saat ini untuk menyatukan mereka yang terserak dan menjamin akan kelangsungan hidup umat Israel, karena Allah setia terhadap janjinya.
Dalam kisah Yusuf dilukiskan bahwa Yusuf adalah tokoh yang ambigu, identitas teologinya sebagai seorang Israel namun mengabdi pada kepentingan politik kerajaan Mesir sehingga di munculkan gambaran komunitas umat beriman yang harus hidup berhati-hati berhikmat dan tidak melanggar batas rapuh akan penolakan dan akomodasi bangsa lain sekitar mereka.
Teologi feminis para ibu memiliki peranan penting, karena Sarah, Rachel dan Ribka adalah perempuan yang awalnya mandul dan mendapat kasih karunia mujizat Allah.  Sarah sebagai istri yang dipemalukan menjadi Ibu Iman mendampingi Abraham dan kemudian menjadi simbol bagi Paulus sebagai lambang kebebasan pemberitaan injil.
Rahel digambarkan sebagai ibu yang berduka karena anaknya meninggal dan menolak penghiburan, dalam Yeremia menjadi lambang kesedihan ketika Israel berada dalam pengasingan dan juga ketika Herodes membantai anak-anak dalam Injil Matius. Ribka dalam kisah ini peranannya tidak terlalu diangkat dalam tradisi biblika.
Namun wanita ketiga yang menjadi lambang  perbudakan adalah Hagar, dia adalah ibu dari salah satu anak Abraham yang juga mendapat berkat, Ismael, dan mendapat belas kasih serta pemeliharaan Allah dan menjadi pintu bagi Israel untuk menerima bangsa lain yang memiliki legitimasi untuk mengklaim janji Allah. Abraham Bapa Iman memiliki iman yang mengalahkan kemustahilan dan yakin akan janji yang di ucapkan Allah, meskipun saat itu Abraham tidak melihat buktinya; namun dia berjalan mengikuti Allah.

Opini:
Menurut  saya memang bukan tidak mungkin bahwa tulisan dalam kitab kejadian pada kisah penciptaan dunia berasal dari mitologi bangsa lain, yang  dianggap layak oleh umat Israel sehingga diadaptasi dengan di bentuk kemudian disusun ulang sehingga menjadi kepercayaan yang sesuai dengan apa yang mereka imani. Mereka memiliki konsep tersendiri yang kemudian belakangan kita pun mengadaptasi dan mempercayainya menjadi bagian dari iman kita. Sebenarnya hal ini pun mungkin sesuai dengan konteks pada zaman itu ketika mereka yang  dalam pembuangan harus menyampaikan iman mereka agar dimengerti oleh bangsa-bangsa lain dengan menggunakan budaya mereka. Sehingga dengan adanya beberapa kemiripan diharapkan dapat membuat mereka lebih diterima oleh bangsa-bangsa lain saat mereka berada dalam pembuangan. Hal ini dapat dimaklumi, karena dalam kehidupan kita sendiri, seringkali kita harus menyampaikan iman kita dengan budaya setempat, misal menghubungkan Yesus Kristus dengan mitologi jawa ratu adil yang akan datang.
Dalam silsilah nenek moyang bangsa Israel, yang merupakan upaya umat Israel dalam menjelaskan darimana mereka, dan siapa yang menjadi nenek moyang mereka sangat penting bagi mereka. Karena dengan memiliki nenek moyang yang mengalami kemurahan Allah dan kedudukan sosial politis yang diperoleh nenek moyang mereka, menjadikan mereka berpengharapan terhadap situasi sulit yang mereka hadapi dan menjaga harga diri mereka sebagai bangsa yang terpilih.
Belakangan ini seturut perkembangan teologi feminis, para ibu Israel mendapat sorotan karena peranan mereka yang menjadi lambang/symbol dari situasi umat Israel. Seperti Sarah sebagai kebebasan karena bukan berasal dari keturunan budak dan Rahel menjadi simbol dukacita ketika dalam masa-masa sulit zaman pembuangan.
Memang saya melihat dalam penulisan kisah-kisah ini, sepertinya Allah menjaga kelangsungan hidup mereka dalam masa sesukar apapun. Dan kebanggaan umat Israel penyertaan Allah dan nenek moyang mereka sebagai yang terpilih di mata Allah.

Pengantar Perjanjian Lama

Sejarah Israel dan agama yang mereka anut terpaut dan saling mengait tertulis dalam Perjanjian Lama, yang tema utamanya ialah peristiwa keluarnya bangsa mereka dari Mesir (tanah perbudakan) menuju Kanaan (tanah perjanjian), yang sekarang disebut Palestina. Peristiwa ini ditelaah, dipahami secara berbeda terus menerus untuk mencari solusi pada situasi yang baru serta berbeda dan diterapkan kembali oleh umat Israel.
Nenek moyang bangsa Israel berasal dari daerah Mesopotamia, yaitu suatu suku yang mengembara, dengan salah satu kepala sukunya adalah Abram/Abraham. Mereka adalah suku nomaden yang perjalanannya menyusuri padang pasir, menernakkan hewan peliharaan mereka dan tak jarang terjadi pertikaian diantara mereka mengenai perebutan sumur dan atau mata air.
Suku Israel memuja Allah yang mengikuti kemana arah langkah mereka, yang tidak hanya berdiam disatu tempat namun ikut mengembara bersama mereka. Mereka memikirkanNya dalam gambaran seorang Gembala yang membimbing dan melindungi mereka. Juga seperti Bapa, karena hubungan kekerabatan yang erat dalam satu suku yang berasal dari satu keturunan nenek moyang, sehingga suku Israel memiliki hubungan yang wajar dengan Allah mereka, yang mencintai dan bergaul akrab serta mesra dengan Allah. Namun demikian Allah juga perlu dipuja, dengan mempersembahkan anak domba atau kambing, hal ini dianggap bahwa hidup adalah dari Allah dan darah persembahan anak kambing atau domba dilambangkan memiliki kuasa atau kekuatan Allah menjaga sukuNya, dan daging korban merupakan suatu jamuan kehormatan Allah bagi umatNya.
Saat terjadi peristiwa kekeringan yang hebat, suku keturunan Abraham dengan salah satu kepala sukunya Yakub, berkelana ke arah selatan hingga tiba di  daerah sungai Nil perbatasan Mesir, yang disitu telah tinggal suku lain keturunan Abraham dan rupanya cukup memiliki pengaruh. Suku ini kemudian disimbolkan sebagai “Yusuf”. Karena Yusuf inilah akhirnya suku dari Yakub ini dapat masuk dan tinggal di perbatasan timur Mesir, namun mereka tetaplah suku yang tinggal terserak.
Tetapi terjadi perubahan suhu politik di Mesir, para pemimpin yang lama yang memiliki rasa simpatik pada suku-suku pendatang ini digantikan oleh pemimpin Mesir yang berlainan sama sekali dengan pemimpin sebelumnya dan merasa perlu untuk menundukkan mereka dengan hukum Mesir. Suku-suku ini dikerahkan untuk kerja rodi dan Israel membutuhkan seorang pemimpin yang dapat dipercaya, mampu serta tetap mengandalkan Allah nenek moyang yang mempersatukan suku-suku mereka. Gambaran pemimpin ini mereka dapatkan dalam Musa yang dengan berani menghadapi raja Mesir yang bergelar Firaun, bahkan melawannya. Musa memimpin mereka lari dari Mesir dan menjelaskan tentang Allah nenek moyang mereka, ia juga bertindak sebagai perantara bagi umat Israel berbicara kepada Allah yang menurut mereka telah terbukti jauh lebih berkuasa dari dewa-dewi Mesir ketika pasukan Mesir yang tengah mengejar mereka tenggelam dan mati lemas dalam rawa yang disebut “Laut Kulzum”.

Saat di padang gurun, Musa menjelaskan pada umat Israel bahwa ada suatu perjanjian spiritual antara Allah yang akan terus melindungi mereka dari bangsa-bangsa lain yang memusuhi mereka, kepercayaan ini kemudian menjadi elemen utama yang mempersatukan suku-suku Israel, yang menjadi bibit sebuah bangsa terpilih. Mereka mengembara di gurun selama 40 tahun, kadang mereka bertikai dengan suku-suku lain yang tinggal di gurun.
Tanah air bagi suku Israel adalah Kanaan (sekarang Palestina) dan mereka menduduki Kanaan dengan berbagai cara perlahan-lahan, mulai dari perbatasan pegunungan dan gurun, kemudian terkahir memasuki daerah dataran rendah dan perkotaan. Disana mereka bertemu suku-suku yang masih kerabat mereka dan mereka mengambil alih agama setempat. Di Kanaan bangsa Israel yang masih sederhana belajar dari suku asli yang lebih maju sistem tata masyarakat dan kebudayaannya. Hal ini membuat keadaan agama suku Israel terancam keberadaannya. Suku Israel terkadang berperang satu dengan yang lain, dan yang mempersatukan mereka hanya agama dan saat mereka beribadah bersama ketempat kudus. Namun dalam kesehariannya mereka sering tergoda pada kepercayaan local suku asli yang mereka rasa sesuai dengan budaya bertanu yang baru bagi mereka (dewa-dewi kesuburan tanah). Tetapi kenangan akan keluarnya mereka dari mesir dan perjanjian Allah dengan mereka, hal ini menyebabkan umat Israel tidak menyeleweng ataupun murtad dari Allah.
Persekutuan agama yang dapat menyatukan suku Israel menjadi persekutuan politik juga, saat mereka menyadari pemimpin yang dapat menyatukan suku-suku mereka dapat memimpin mereka, tokoh-tokoh itu disebu “sofetim” dalam Alkitab atau “penyelamat Israel” dengan menjaga kemurnian agama mereka dari unsur-unsur kekafiran. Mereka adalah orang-orang yang langsung diutus oleh Allah, yang dipanggil dan diperlengkapi olehNya untuk memimpin suku-suku Israel, terkadang terdapat usaha untuk menjadikan mereka pemimpin tetap suku Israel tetapi tidak berhasil karena sebenarnya pemimpin mereka adalah Allah.
Bahaya baru mengancam suku Israel, yaitu Filistin. Mereka adalah bangasa yang gagah perkasa dan jauh lebih maju kebudayaannya dari Israel, dan berhasil menaklukkan suku-suku Israel. Saat itu suku Israel sadar bahwa tata masyarakat mereka yang setengah nomaden dan jalinan persekutuan yang longgar antar suku tidak lagi memadai. Mereka mulai mengenal sistem kerajaan, tata masyarkat mereka pun mulai berubah, dan mereka memilih seorang raja yang harus memerintah pada tahun 1050 sebelum Masehi, yang pertama ialah Raja Saul, namun kemudian ia gagal dalam memenuhi pengharapan Israel, dan tewas dalam pertempuran dengan Filistin bersama anaknya, Yonatan. Saul digantikan oleh Daud, dan berhasil mengalahkan Filistin serta mempersatukan semua suku Israel. Meskipun dari luar nampaknya kerajaan baru ini kuat, tetapi ternyata masih rapuh.
Perubahan ini sebenarnya menggambarkan bagaimana Israel berpikir mengenai Allah, dan sebenarnya Raja Israel tetap Allah, sehingga raja manusia hanyalah wakil Allah saja, dengan demikian tugas utama raja ialah menjamin perjanjian Allah dengan umatNya, kehendakNya melalui hukum negara. Kuasa raja Israel tidak pernah mutlak, terikat oleh kehendak Allah yang dituliskan dalam hukumNya.

Ketika Daud memerintah, dia membangun Yerusalem sebagai kota kerajaan karena kota netral yang tidak diperebutkan oleh suku-suku Israel, hal ini diperkuat dengan pembangunan Bait Allah oleh Salomo, pengganti Daud, sehingga Yerusalem juga menjadi kota pusat peribadatan. Politik yang diterapkan oleh Salomo mencontoh negara lain, khususnya Mesir, yang mengusik nasionalis kesukuan Israel yang peka sekali. Pajak dan berbagai macam bentuk kerja rodi dilakukan Salomo demi mendukung ambisinya membangun proyek-proyek besar. Ditambah dengan pegawai-pegawai kerajaan yang diangkat raja biasanya dari suku Yehuda, mereka mengurus negeri seolah semuanya adalah milik pribadi raja. Tetapi setelah Salomo meninggal, Israel terpecah menjadi dua, kerajaan Israel (bagian utara terdiri dari 10 suku Israel, ibukota Samaria) dan Yehuda (dua suku Israel yang terus diperintah oleh keturunan Daud).
Israel merosot saat kerajaan terpecah, di bidang politik mereka lemah terhadap agresi negara-negara besar, Seperti Mesir, Babel, Asyur dan terpaksa membayar pajak pada mereka. Korupsi terjadi dimana-mana, para pegawai raja menindas dan memeras rakyat kecil. Para raj lupa tugas utama mereka sebagai wakil Tuhan dan penjamin perjanjian dan mereka menyeleweng dari Tuhan dengan agama kafir dengan alasan politik.
Para raja yang kurang setia di seimbangkan dengan adanya tokoh para nabi yang dengan gigih membela agama sejati dan tata cara masyarakat yang dipandang sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka diutus oleh Tuhan sendiri, dan mereka berkhotbah, mengajar serta bertindak atas nama Tuhan bahkan mempertaruhkan nyawa mereka. Mereka mencela dan mempringatkan rakyat biasa, para imam, nabi-nabi palsu,  bahkan raja sekalipun. Namun mereka juga membela rakyat miskin yang lemah yang ditindas dan diperas kalangan atas.
Elia dan Elisa ialah rangkaian nabi pertama di Israel bagian utara dalam membela agama melawan kekafiran yang dilakukan oleh istana. Disusul oleh Nabi Amos, Hosea dan Mikha di waktu yang sama. Tetapi usaha mereka berakhir sia-sia. Kedua kerajaan suku-suku Israel hancur dan mereka masuk dalam pembuangan di negeri Babel.
Pada masa bencana inilah para nabi menjadi penopang umat yang sepertinya tanpa pengharapan, apa yang mereka anggap sebagai hukuman atas penyelewangan mereka terhadap Allah. Dimasa pembuangan ini mereka menjadi sadar terhadap tindakan mereka di waktu lalu dan menerima pengajaran para nabi-nabi. Mereka mengumpulkan tradisi-tradisi, hukum-hukum zaman dulu, arsip-arsip, lagu-lagu (mazmur), dll. dan menelaah kembali apa yang tertulis, mereka mendapati bahwa sejak mula penciptaan terlihat keagungan dan kasih Tuhan.
Bagi umat Israel, sejarah mereka adalah wahyu dari Tuhan, sebuah pengharapan yang semakin terang. Mereka berusaha untuk memurnikan, membersihkan kembali pengharapan mereka dan percaya Allah akan mengadakan suatu perjanjian yang baru bagi mereka. Sehingga pengalaman pahit yang mereka alami dalam pembuangan menjadi saat yang terbaik karena umat Israel mematangkan pemahaman iman mereka pada Allah dan pada manusia.

Setelah lima puluh tahun mereka dalam pembuangan di Babel, raja Persia bernama Koresy mengizinkan mereka kembali ke tanah leluhur mereka dan membangun Bait Allah. Scara berkelompok maupun skala besar mereka kembali ke Kanaan dan tradisi serta hukum-hukum yang telah mereka kumpulkan menjadi serta hasil perenungan mereka selama di pembuangan menjadi pegangan mereka. Meskipun Palestina tetap berada dibawah kekuasaan kerajaan Persia, namun para rajanya sangat toleran sehingga umat Israel dapat mengurus perkaranya sendiri, hidup dengan tata cara dan adat-istiadat mereka sendiri asalkan tidak memberontak. Karena dukungan para nabi seperti Hagai, Zakharia dan maleakhi mereka dapat membangun masyarakat Yahudi sedikit mendekati keinginan mereka, meskipun semangat mereka cepat berkurang karena kedatangan mereka tidak disambut terlalu baik oleh suku Israel yang masih tersisa disana maupun oleh suku-suku lain yang menempati Palestina.
Suhu politik di Timur tengah kembali berubah karena raja Yunani (utara) Alexander Agung berhasil merebut seluruh kerajaan Persia dan Mesir, sehingga Palestina pun tidak luput berada dibawah kekuasaan Yunani. Selain pengaruh politik, kebudayaan dan filsafat Yunani tersebar dengan sangat luas dan cepat sebagai kebudayaan modern melalui penyederhanaan bahasa Yunani yang menjadi bahasa internasional kala itu, kebudayaan Yunani bercampur dengan kebudayaan setempat. Namun tidak lama Kerajaan Yunani pecah menjadi beberapa bagian menyebabkan umat Israel yang berada di Palestina berada diantara Mesir dan Siria/Babel.
Pada akhirnya Israel berada di bawah kekuasaan Mesir (323 sebelum Masehi), dan sikap toleran dan simpatik Mesir membawa banyak orang Yahudi kenegerinya dan mereka menerjemahkan seluruh Kitab Suci Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Namun pada tahun 200 sebelum Masehi Palestina dikuasai Siria; dan banyak umat Israel, terutama yang tinggal di Yerusalem terpikat oleh kebudayaan Yunani yang ikut masuk. Tetapi tetap ada sekelompok orang Yahudi yang mempertahankan adat istiadat dan agama nenek moyang dengan setia.
Keluarga Makabe (Yudas, Yonatan, Simon) yang dipelopori oleh ayahnya, Matatias, memberontak pada masa raja Antiohus Epifanes (167 sebelum Masehi) karena pemaksaan untuk memeluk kepercayaan raja itu. Mereka berhasil merebut kemerdekaannya secara politik dan agama; dan Simon Makabe akhirnya menjadi raja dan imam besar dengan bersekutu dengan negara Roma. Namun kekacauan dalam negeri sering terjadi setelah Simon Makabe mangkat, ambisi politik luar negeri yang terlalu besar membawa umat Israel berada ditengah kepentiangn politik Roma dan Siria.
Hal ini tidak berlangsung lama karena tahun 63 sebelum Masehi tentara Roma menyerbu Yerusalem, dan menjadi bawahan Roma meski memiliki raja sendiri, Herodes, yang tidak disenangi oleh rakyat.
Dalam Perjanjian Lama jelas terlihat pergumulan Israel merumuskkan iman mereka semakin berkembang, mereka belajar mengenai Allah serta cara Nya bekerja dalam kehidupan mereka, kekeliruan dan penyelewengan yang ada dalam sejarah mereka menjadi pelajaran bagi orang lain. Perjanjian Lama menyatakan perjanjian Allah dengan umat Israel ternyata dapat juga perjanjian Allah dengan manusia secara keseluruhan.

Perjalanan hidup umat Israel dalam menemukan jati diri mereka, mengalami masa-masa sulit yang mereka pahami sebagai suatu hukuman akibat dari pelanggaran akan ketetapan yang Tuhan berikan bagi mereka; ketidak setiaan yang mereka lakukan dengan menyembah ilah-ilah lain. Namun demikian umat Israel tidak berlama-lama terpuruk dalam kondisi yang tanpa pengharapan, dengan bantuan para nabi yang tidak kenal lelah dalam memberitahu mereka kesalahan dan apa yang harus dilakukan untuk keluar dari masa-masa sulit dengan memperbaiki kelakuan mereka dihadapan Tuhan, kita dapat melihat bahwa pada akhirnya Israel dapat kembali ke tanah air mereka.
Kisah-kisah sejarah asal mula umat Israel menjadi suatu bangsa dari hanya suatu suku terlihat bahwa mereka sejak mula nenek moyang mereka dari Abraham tidak pernah lepas dari kepemimpinan Allah yang selalu mereka sertakan. Saya melihat bahwa setiap kali pemimpin Israel membenahi sikap mereka dalam memurnikan kepercayaan mereka dari sikap meniru penyembahan bangsa lain terhadap allah mereka, maka Allah Israel yang tadinya meninggalkan dan menghukum umatNya, akan kembali menolong umatNya.

Umat Israel terus menerus memperkaya pandangan mereka terhadap Allah, sehingga menghasilkan suatu rumusan mengenai perilaku moral dan sistem tata masyarakat yang berbeda dari yang lain. Rangkuman sejarah asal-usul mereka tidak pernah lepas dari sejarah mereka mengenal Allah, sejak dari konsep sederhana Allah sebagai gembala, pembimbing dan Bapa yang mengasihi mereka, menjadi Tuhan yang harus disembah  dan yang kuasaNya tidak terkalahkan oleh allah-alah sembahan bangsa lain. Menjadi Allah yang mengajarkan Israel menjadi bangsa yang memiliki corak tersendiri yang hanya percaya pada satu Allah yang superior, menguasai segalanya, namun dengan penuh kemurahan membiarkan umat yang dipilihNya dekat kepadaNya dan merasakan kasih Allah yang selalu membela mereka, mengatasi segala keadaan.