Teologi dan Budaya Populer
Seksualitas Media dalam Serial Sex and the City
I. Sekilas Sex and the City
Sekitar
tahun 2000, sebuah saluran tv kabel Amerika Serikat, yang terkenal
sering menayangkan dan memroduksi film-film serial maupun lepas yang
fenomenal, yaitu HBO (Home Box Office), yang diangkat dari sebuah buku
yang berjudul sama ditulis oleh Candace Bushnell, merupakan olahan dari
kolom yang ditulisnya di koran New York Observer terinspirasi percakapan
antara dirinya dengan sahabat-sahabatnya para wanita karir lajang di
New York. Dalam kata pengantar yang ditulis Bushnell
Sex and the City merupakan hasil dari “
spent
hours discussing our crazy relationships, and came to the conclusion
that if we couldn't laugh about them, we'd probably go insane. I suppose
that's why Sex and the City is such an unsentimental examination of
relationships and mating habits.”
[1]
Stasiun
tv kabel ini bekerja sama dengan Paramount; menayangkan sebuah kisah
mengenai persahabatan empat orang perempuan muda lajang di kota
megapolitan. “
Sex and the City focuses on a group of women, each of whom represents an archetype of contemporary womanhood.”
[2]
Mereka me-representasikan gambaran perempuan yang dinamis, mandiri,
memiliki karier yang mapan, cantik, berani, serta tidak takut untuk
membicarakan seks, yang bahkan di Amerika Serikat masih dianggap tabu (
private matters).
Empat orang perempuan muda berusia 30-an ini adalah Carrie Bradshaw
(diperankan oleh Sarah Jessica Parker) seorang penulis kolom, PR
executive dan
sexual libertine Samantha Jones (Kim Cattrall), pengacara korporat and
relationship cynic Miranda Hobbes (Cynthia Nixon) serta menejer galeri seni dan
romantic optimist
Charlotte York (Kristin Davis). Penayangan serial ini bertahan hingga
musim tayang ke-enam dan beberapa tahun yang lalu di buatlah film layar
lebar dari serial ini karena permintaan pasar yang masih tinggi terhadap
ending kisah ini.
Pada episode perdana musim tayangnya
yang pertama, dibuka dengan argumen bahwa perempuan pun dapat melakukan
hubungan seks tanpa perasaan seperti laki-laki, “
Can women have sex like a man?”
dengan semangat seperti itu Carrie selalu membawa beberapa bungkus
kondom dalam tasnya. Tetapi dia bertabrakan tidak sengaja dengan seorang
laki-laki, kemudian dikenal dengan
Mister Big, yang
mengakibatkan semua isi tasnya berserakan di jalan, tetap ada perasaan
rikuh Carrie ketika laki-laki itu tersenyum dengan ekspresi heran namun
terhibur.
Sex and the City mem-populerkan atau dapat dikatakan
mengemas sebagian muatan feminisme dalam kemasan cantik bernama budaya
populer. Dalam episode ke 5 di musim tayang ke-dua, banyak kritik-kritik
tajam yang dilontarkan dalam dialog antar pemeran yang mengkritik
kehidupan mereka sebagai perempuan. Ketika Carrie sedang mengalami fase
putus cinta dan Miranda memrotes mengapa mereka sebagai empat perempuan
intelek hanya membicarakan masalah laki-laki dan pacar saja, yang
seringkali terjadi dalam perbincangan antara sahabat perempuan sebagai
topik yang paling
seru.
Bagaimana dengan Indonesia sebagai pengkonsumsi produk populer yang satu ini?
Sex and the City
sempat di tayangkan di Indonesia hingga musim tayang ke-tiga, di sebuah
stasiun tv swasta setiap hari Jumat malam menjelang tengah malam.
Banyak perempuan pekerja di jajaran menengah hingga atas maupun
mahasiswi yang menanti-nantikan jam siar tayangan ini. Bahkan sebuah
produk susu pelangsing membuat jingle iklan yang mirip dengan jingle
serial ini. Citra yang dipresentasikan oleh para pemerannya berhasil
memikat hati banyak perempuan, yang bukan hanya di Amerika Serikat,
tetapi nampaknya hampir di seluruh negara yang menayangkan serial ini,
bahkan membuat kelompok seperti para tokohnya dan klub menonton bersama
Sex and the City. Tayangan ini juga mendapat perhatian dari
the talkshow queen di Amerika Serikat yang sempat mengulas tayangan ini beberapa tahun lewat.
Pada dasarnya film ini masih memiliki aura
cinderella syndrom namun dikemas dalam
package
yang lebih menarik dengan lapisan feminisme. Namun dapat terlihat dalam
kisah cinta antara si tokoh utama Carrie Bradshaw, seorang penulis
kolom seks di koran New York Observer, dengan seorang pria yang
dipanggilnya
Mister Big. Dia adalah seorang pria mapan sukses
yang menduda berumur 40-an, seorang pengusaha yang egois dalam menjalin
hubungan dengan Carrie. Seperti lagu yang dipopulerkan oleh kelompok
vokal BBB, “putus nyambung” demikian juga kisah cinta antara Carrie dan
Mister Big dalam serial ini. Di era
post-modern atau mungkin
post-feminist ini, ternyata banyak perempuan yang masih belum dapat melepaskan diri dari
cinderella syndrom dalam kemasan yang serba glamour dan sangat populer.
Though eventually,
Mister Big melamar Carrie dan
they live happily ever after, setidaknya demikian dalam Sex and the City The Movie yang pertama, yang sebentar lagi akan
release sequelnya.
- II. Observasi
Fenomena
serial ini cukup terasa hingga ke Indonesia, meskipun setelah musim
tayang ketiga serial ini tidak lagi ditayangkan di Indonesia. Namun toh
tidak menghambat keinginan para penggemarnya untuk tetap meneruskan
menonton dengan membeli kepingan
dvd di Mangga dua, Glodok,
atau ITC Ambassador. Perempuan muda banyak yang merasa gambaran dirinya
sebagian diwakilkan oleh ke-empat tokoh perempuan ini. Bagaimana
perempuan-perempuan ini terbuka pada seksualitasnya di tengah dunia
kerja yang banyak di dominasi laki-laki.
Keterbukaan dan pengakuan
bahwa perempuan adalah makhluk seksual tertutup oleh lapisan kewajiban
yang mengiringinya. Misalnya seorang perempuan “baik-baik” lebih banyak
tinggal di rumah atau ahli mengerjakan tugas-tugas domestik. Bilamana
perempuan bekerja di luar rumah, maka ketika tiba di rumah diharapkan
untuk mengerjakan tugas-tugas rumah. Tidak demikian dengan laki-laki,
mungkin inilah yang disebut sebagai standar ganda. Perempuan sebagai
“super woman” atau “wonder woman” yang sebaik-baiknya memenuhi
“ekspetasi” sebagai wanita karir yang cemerlang dan jika dia seorang
istri ditambah sebagai istri yang penuh pengabdian pada keluarga dengan
mengerjakan semua tugas-tugas rumah setelah bekerja seharian di kantor.
Serial ini banyak mengangkat isu-isu seksual, bukan hanya preferensi maupun “
fetishes” tetapi juga hal-hal seperti kesehatan organ reproduksi, penggunaan “
sex toys”,
serial ini yang pertama kali mengulas kesemuanya ini, bahkan di negara
pemroduksinya sendiri serial ini fenomenal, seperti yang dikutip dari
Akas dan McCabe dari Holden “’
Topics thrashed out during the
gabfests over the six seasons range from anal sex and female ejaculation
to vibrators, cunnilingus, abortion, infertility and sexually
transmitted diseases. ‘Never in an American film or TV series has
sophisticated girl talk been more explicit, with every kink and sexual
twitch of the urban mating game noted and wittily dissected.’”
[3]
Tentu saja muatan dalam hal mengenal dengan seksualitas tidaklah seperti apa yang ditampilkan dalam media, ataupun seperti
Sex and the City,
karena konteks budaya Indonesia yang berbeda, dan mungkin hanya
sebagian kecil kalangan saja yang memiliki gaya hidup mendekati ke-empat
karakter tersebut diatas. Umat Kristen, atau sebagian dari umat
Kristen, masih tertutup dalam hal seksualitas dan
ngeri
mendengar kata feminisme. Namun tidak diragukan lagi pengaruh budaya
populer dalam serial ini memiliki paling tidak sedikit pengaruh dalam
gaya hidup perempuan berusia 30-an, “
In many ways, Sex and the City
has functioned as a forum about women’s sexuality as it has been shaped
by the feminist movement of the last 30 years.”
[4]
Jika dapat dikatakan bahwa serial Sex and The City merupakan bentuk
populer dari gerakan feminisme (ataukah kritikannya?). Meski masih
dengan bumbu-bumbu romantika ala sinderela yang sangat khas Hollywood.
Memang bukan tugas media untuk memberikan nilai-nilai moral sebagai
bagian dari tayangan hiburan, dan inilah yang sebenarnya menjadi tugas
komunitas, yang bisa juga memanfaatkan media.
Bagaimana dengan
Tuhan? Bagaimanakah gambaran Tuhan dalam serial ini? Hanya ada satu
karakter yang dikisahkan memiliki semacam religiusitas, yaitu Charlotte
York. Sedangkan yang lain seperti Carrie dikatakan seorang Agnostik dan 2
yang lain sebagai Atheis. Dalam episode 7 di musim tayang pertama,
dikisahkan Carrie pertama kali menginjak kaki di gereja karena ingin
bertemu dengan ibu dari kekasihnya, yang Atheis, saat itu dengan
menyeret salah seorang sahabatnya yang juga Atheis, dan berkata “
All this ladies in church, wearing hundreds worth of hat and straight to cocktail.” Kegusaran Carrie ditanggapi oleh
Mister Big yang dengan santai menjelaskan mengapa dia tidak mengajak Carrie menemui ibunya di gereja “
I only go to church to see my mom, not more than that. If it’s important to you to see my mother, i’ll take you to her home.”
Terlihat bahwa gereja dalam film ini merupakan sebuah tempat yang
sangat terpisah dari kehidupan sekitar namun kemudian dalam kehidupan
sehari.
Carrie bahkan membuat lelucon mengenai Charlotte yang
dikatakan religius, ketika dia sedang melakukan hubungan intim yang
memuaskan sebanyak 7 kali dan berteriak “GOD” saat mencapainya, musim
tayang kedua episode 5 “
And there that Friday, she met God 7 times, that’s quite a lot for a religious person.”
Dalam hal ini, Carrie memarafrasekan kepopuleran suatu anggapan dalam
kebudayaan Hindu bahwa energi tertinggi adalah ketika mencapai kepuasan
dalam berhubungan intim, seolah begitu dekat dengan Tuhan, atau orang
Prancis mengungkapkannya dalam frase “
La petite morte.”
[5]
Jelas
sekali bahwa Carrie dan kawan-kawan hidup dalam dunia yang sangat
terpisah dari religiusitas. Tetapi sepanjang pertengahan musim tayang
ke-5 hingga akhir dari musim tayang ke-6, nampak nilai religiusitas
mulai dimunculkan. Yaitu ketika Charlotte memutuskan hendak menikah
dengan Harry Goldenblatt, pengacara perceraiannya, yang seorang Yahudi.
Charlotte berusaha memertahankan
her religious view sebagai
seorang episkopalian, tetapi terbuka untuk belajar agama Yahudi.
Akhirnya Charlotte di baptis menjadi seorang Yahudi, setelah sebelumnya
mengadakan pesta perpisahan dengan imannya dengan cara memasang pohon
natal lengkap dengan segenap perlengkapannya di bulan Juni. Charlotte
meraih hidup baru yang lebih baik dengan seorang suami dan religiusitas
yang baru, bahkan Charlotte menguatkan iman suaminya.
Melihat hal
ini, menurut saya dalam pandangan sekelompok masyarakat bahwa
Kekristenan mulai berkurang nilai jualnya. Sedangkan agama-agama Timur
lain justru sedang mengalami
revival. Salah satu episode yang
lain ke-empat sahabat ini berbondong-bondong memelajari spiritualitas
timur Tantrik. Dalam masyarakat posmo, keunikan spiritualitaslah yang
dicari, namun Kekristenan justru berusaha menyeragamkan “spiritualitas”.
Ini mengingatkan saya pada film Chocolat yang diputar di kelas pada
satu kesempatan. Aturan-aturan gereja yang terkadang diberlakukan begitu
baku sehingga satu unsur yang paling penting dalam Kekristenan
tersingkirkan, kasih. Di Prancis sendiri begitu banyak bangunan gereja
yang megah dan indah, sebuah karya seni tetapi ditinggalkan oleh
“gereja”nya dan menjadi diskotik atau museum, dan jika beruntung menjadi
Masjid. Orang-orang Kristen di Prancis beribadah pada ilmu pengetahuan
dan politik ataupun kebudayaan itu sendiri. Toh, bagi sebagian
masyarakat Eropa, agama merupakan kebudayaan. Saya rasa hal ini masih
jauh terjadi di Indonesia, tetapi kemungkinan akan selalu ada.
Perkembangan
media (baik elektronik maupun internet) berkembang sangat pesat serta
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat, pendapat Meyrowitz
yang ditulis oleh Lynch, bahwa dunia tidak lagi dibentuk hanya dengan
ide-ide, tradisi-tradisi, serta kebiasaan-kebiasaan yang penting dalam
komunitas lokal mereka. Hal ini dapat mengarah pada longgarnya perilaku
yang sebelumnya memiliki keyakinan mengenai ketertantangan dunia atau
termodifikasi dalam terang ide-ide dari kebudayaan lain.
[6]
Masyarakat Indonesia, atau lebih tepatnya penduduk di kota-kota besar
yang memiliki tingkat interaksi antar kebudayaan tinggi seperti Jakarta,
Surabaya, Jogja, Medan, juga memiliki tingkat “melek media” yang
tinggi. Karena interaksi antar kebudayaan yang tinggi serta kesadaran
bahwa dunia berubah dari tradisi lokal ketika dmereka dibesarkan dan
sekarang bergeser ke arah kebudayaan yang harus beradapatasi dengan
kebudayaan lain dengan
virtues yang berbeda, menciptakan
kebudayaan hybrid yang berusaha untuk mengakomodasi perubahan pola
perilaku serta kebiasaan yang mulai berubah.
Tren menjadi agama baru dalam masyarakat yang harus di ikuti jika tidak ingin dibilang
kolot atau
ndeso.
Tidak hanya dalam hal pakaian, tetapi juga kesehatan, gaya hidup serta
filosofinya. Dalam rangka mencari keunikan identitas dan cara
peng-ekspresiannya yang ter-representasikan dari cara berbicara, gaya
hidup, bahkan berpakaian yang kerap mengarah pada peng-eksklusifan
kelompok. Seperti komunitas
punk rock, komunitas
indie, dan lainnya yang pada dasarnya mengusung slogan anti kemapanan dan sekarang menjadi begitu populer di generasi muda.
Sedangkan generasi
yuppies,
[7]
justru semakin mencari keamanan dalam hal materi dan bergelut dalam
ketidak amanan spritual yang mendorong ke arah pencarian spiritual yang
dapat mem fasilitasi kehidupan mereka. Sehingga seringkali terjebak
dalam
spirituality cafetaria, dengan munculnya banyak
gerakan-gerakan spiritualitas seperti Kabalah (dipopulerkan oleh
Madonna), Scientology (dipopulerkan oleh Tom Cruise, Nicholas Cage dan
John Travolta), Buddha (di populerkan oleh richard Gere) diskusi-diskusi
mengenai berbagai dimensi teologi serta spiritualitas Islam pun saat
ini tengah marak diselenggarakan di Eropa dan Amerika.
- III. Penutup
Bila kita melihat saat ini, gaya hidup generasi
yuppies,
yang mengaku begitu banyak dipengaruhi oleh posmodernisme dan bagi kaum
perempuan feminisme menjadi gaya hidup. Kesetaraan dalam hal ini bukan
lagi hanya masalah politik ataupun HAM, tetapi juga kesetaraan dalam hal
seksualitasnya, yang menurut saya merupakan HAM. Banyak kaum pekerja
perempuan di Indonesia apalagi mereka yang sudah mengenyam bangku
pendidikan tinggi dan pendidikan tinggi lanjut baik di dalam maupun di
luar negeri, memiliki gaya hidup yang mungkin dua puluh tahun lalu
menjadi skandal dan bisa dibuang dari masyarakat, apalagi keluarga.
Kebebasan dalam memilih pasangan yang sesuai dengan kriteria merupakan
privilege
yang saat ini tidak hanya di miliki oleh kaum laki-laki. Bahkan banyak
perempuan menyukai kebebasan dalam memilih pasangannya. Jika dalam novel
Pramudya Ananta Toer yang berjudul
Gadis Pantai, perempuan
dari kalangan yang lebih rendah dapat dijadikan sebagai istri percobaan
dari golongan priyayi, supaya bila saatnya si laki-laki priyayi ini
menikah dengan perempuan priyayi dapat menjadi suami yang baik. Maka di
Indonesia saat ini, setidaknya di kelompok pendidikan tertentu,
perempuan-perempuan yang berpendidikan melakukan perjalanan mencari
cinta dengan lebih ekspresif, menjadi yang memilih, tidak lagi pasif
serta menunggu untuk dipilih.
Banyak aliran fundamentalis bergerak
ke arah sebaliknya, jargon-jargon mengenai tugas dan kewajiban
perempuan yang adalah harus tunduk pada suami sebagai imam dan kepala
keluarga yang menuntut penundukan absolut perempuan, juga terhadap
anak-anak. Dapat memberi gambaran bahwa Allah seperti ini menuntut
penundukan absolut dari para hambaNya. Sehingga tentu istilah rekan
kerja Allah menjadi tidak masuk akal, karena seorang rekan memiliki hak
untuk berpendapat dan mengambil keputusan bersama. Juga, jika Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan mengapa hanya laki-laki yang diberi
begitu banyak perhatian dari Allah?
Perlunya penggambaran Allah yang lebih
down to earth
menjadi kebutuhan yang harus segera di jawab dalam pergumulan gereja.
Allah yang memahami keunikan setiap pribadi dalam gejolak budaya populer
yang semakin
merangsek ke dalam kehidupan umat Kristen, yang
tidak mengalienisasi. Menghadapi gaya hidup yang mengarah pada pola
konsumerisme dan hedonisme, yang bukan hanya dalam kemasan budaya
populer (seperti beberapa gereja karismatik lakukan namun tetap dengan
konsep fundamentalis). Saya rasa Allah juga telah siap masuk dalam
kehidupan posmodern umatNya.
Inilah Allah yang hidup dalam dunia,
dunia yang kompleks dengan segala permasalahannya. Sebuah Pribadi yang
dinamis mengikuti gejolak warna kehidupan umatNya
Daftar Pustaka
Akass, Kim & Janet McCabe editor.
Reading Sex and the City I.B.Tauris & Co Ltd 6 Salem Road, London W2 4BU 175 Fifth Avenue, New York, 2004.
Bushnell, Candace.
Sex and the City New York, Warner Books dan Atlantic Monthly Press, 2001.
Henry, Astrid. “Orgasms and empowerment:
Sex and the City and the third wave feminism”, dalam buku
Reading Sex and the City I.B.Tauris & Co Ltd 6 Salem Road, London W2 4BU 175 Fifth Avenue, New York, 2004.
Lynch, Gordon,
Understanding Theology and Popular Culture Blackwell Publishing, Oxford UK, 2006.
[1] Candace Bushnell,
Sex and the City ( New York, Warner Books dan Atlantic Monthly Press, 2001), hlm. 3.
[2] Astrid Henry, “Orgasms and empowerment:
Sex and the City and the third wave feminism”, dalam buku
Reading Sex and the City (I.B.Tauris & Co Ltd 6 Salem Road, London W2 4BU 175 Fifth Avenue, New York, 2004), hlm. 66.
[3] Kim Akass & Janet McCabe editor,
Reading Sex and the City (I.B.Tauris & Co Ltd 6 Salem Road, London W2 4BU 175 Fifth Avenue, New York, 2004), hlm. 3.
[4] Astrid Henry, “Orgasms and empowerment: ..., hlm. 66.
[5] Artinya kematian kecil.
[6] Gordon Lynch,
Understanding Theology and Popular Culture (Blackwell Publishing, Oxford UK, 2006), hlm. 54.
[7] Generasi setelah
baby boomers yaitu mereka yang tidak bisa hidup tanpa secangkir
starbucks di waktu pagi untuk mengawali hari.